Minggu, 25 Oktober 2009

Cinta


Berbicara masalah cinta Sangat sulit untuk memulainya, sama sulitnya ketika ingin mendifinisikannya, dia adalah makhluk yang cukup abstrak dan tak dapat membatasinya, kata anis matta . Dia ibrat angin membadai. Kau tak melihatnya. kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat memindahkan gunung pasir di tengah gurun atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluh lantakkan bangunan-bangunan angkuh dipusat kota metro politan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata, tanpa benda. Tak terlihat hanya terasa. tapi dahsyat.

Ia begitu halus tapi dapat mematikan .menganggap azab jadi nikmat. Mematikan fikiran selain dirinya cinta membuat angan yang kosong menjadi ada. Perkataan tidak masuk akal menjadi  masuk akal. Dan selalu ingin memberi  tanpa harus diberi. Dan jika kamu memberi  kamu memberikan semua yang kamu miliki kepada yang kamu cintai tanpa tersisa satu sedikitpun untukmu. Dan kau akan menganggap sedikit yang kamu berikan sekalipun banyak. Dan menganggap banyak pemberian kekasih sekalipun itu sedikit.

Ia membuatmu hilang fikiran sama seperti  orang gila yang tak mengerti apa yang ia katakan. kamu merasakan kenikmatan sekalipun engkau tersiksa , ia dapat menghilangkan selara makanmu dan membuatmu tak merasa lapar. Menghilangkan dahagamu sekalipun engkau merasa haus. Ia bagaikan bayangan yang selalu lengket  . Dan juga seperti nila yang menetes kedalam susu didalam belanga, yang kemudian masuk dan tanpa disadari menyatuh bersamanya. Ia bagaikan virus tapi engkau menyukainya. Dan bagaikan api yang membakar apa saja selain dirinya.

Ia membuatmu bodoh dan tak berdaya dihadapan kekasihmu. Sekalipun ia berbuat apasaja semaunya terhadapmu. Ia bagaikan kekuatan tanpa sebab. kau dapat membuat sesuatu yang biasa, menjadi luar biasa.kata Rumi : “cintalah yang melunakkan besi, menghancur-leburkan karang, membangkitkan yang mati, meniupkan kehidupan padanya, dan membuat budak menjadi pemimpin.” Cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, pernjara berubah menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Atau kata Ibnu Qudamah : “ cinta mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut.”

Kau merasakan adanya sesuatu yang tidak ada, dan merasakan tidak ada ketika ia ada, membuatmu tersenyum tampa sebab. membuatmu menangis sekalipun engkau tidak bersedih. bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya.

Seorang yang telah jatuh cinta tak akan merasa risih dengan comohan orang disekitarnya. ia bagaikan orang gila yang kesurupan namun terdidik, makhluk aneh inilah yang masuk kedalam diri tokoh reinkernasi islam seperti Rabiah, yang rela meninggalkan kenikmatan jasmani dan lebih memilih menari  dan menyatuh dengan kekasihnya Tuhan , atau Al hallaj yang merelakan lehernya digantung karena mempertahankan kekasihnya ( baca : Tuhan) yang telah menyatu dengan dirinya, dengan mengatakan bahwa aku ini adalah CINTA ( baca : Tuhan ) dan didalam jubahku ini ada CINTA. Atau Ibnu Araby yang rela mendapatkan title Zindik dari orang-orang yang hidup di zamannya ia mengatakan :

Nikmatmu dan azabmu sama saja bagiku

Maka cintaku padamu tak akan berubah dan selalu bertambah

Maka cintaku yang telah aku pilihkan untukmu

Sama Seperti cintamu padaku tatkala engkau menciptakanku.

Demikianlah cinta yang selalu tampa batas, dan memang dia tidak memerlukan batasan, karena sesorang musafir yang mengembara di padang pasir yang haus dahaga tak akan dapat menggambarkan betapa nikmatnya meminum air dingin yang segar yang membasahi jalur-jalur kerongkongannya begitu juga dengan cinta. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah  berkata : “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri, membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya.Maka batasan dan Penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri “  Anis Matta berkata :  Kita hanya perlu tau cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya : karena  - kemudian -semua  terjawab disana.

 

 

Egypt,  Sabtu 24 Oktober 2009. Awal musim dingin, Pukul  15 : 53.

Al hal Fana' dalam Perspektif Kaum Sufi


Ketika kita mendengar istilah diatas maka yang tertashawwur dalam fikiran kita adalah tokoh kontroversial semisal Al hallaj atau Ibnu A'rabi atau para tokoh taswwuf assyatih ( baca : nyeleneh) yang lainnya, mereka inilah yang rela kehilangan nyawa demi membela kalimat diatas, sebenarnya mahiyah atau esensi apa yang terkandung dari kalimat tersebut hingga orang-orang juga ikut takut untuk mempelajari ilmu tasawwuf dan alergi mendengar kata sufi, Abu Said Alkharraz mencoba mensyarah ma'na dari istilah fana' ini ia mengatakan fana' adalah : apabila seseorang menyerahkan kuasanya hanya pada Allah Swt. dan bergantung hanya padanya, dan tenang disampingnya maka dia lupa akan dirinya. Dan dia akan melupakan semuanya kecuali Allah, dan apabila kita berkata kepadanya siapa Engkau dan apa yang Kamu inginkan maka tidak ada jawaban yang lebih afadhal kecuali jawaban aku adalah Allah, yang aku inginkan adalah Allah.

Bila dilihat dari histori atau Awal mula pengistilahan kalimat fana' para ulama' masih berbeda pendapat, tetapi dari pendapat yang paling mayoritas dari buku buku tasawwuf lebih condong kepada tokoh Rabiah Al Adawiyah yang meninggal pada tahun 185 H. tetapi pendapat ini di bantah oleh. Dr Muhamad Sayyid Al Jalyand beliau berkata istilah fana' ini belum dikenal sebelum abad ketiga hijriyah dan adapun kemudian perkataan fana' almuhib fi al mahbubihi yang disandarkan kepada Rabiah Al Adawiyah tidak bias menadi asumsi dan tidak bisa untuk dijadikan alasan karena fana' itu sendiri adalah merupakan musthalah madzhabi yang mempunyai arti khusus yang dimana hal tersebut tidak dikenal oleh Rabiah itu sendiri dan pengistilahannya belum ada dizamannya.

Apabila kita ingin mencermati istilah ini maka pengistilahan kalimat fana' itu sendiri sering di gunakan oleh kaum sufi sebagai muqabalah dari al baqa' (baca: abadi) yang mana kedua musthalahat ini tak bisa di pisahkan satu dengan lainnya oleh karenanya apabila seorang sufi telah fana' maka dia dengan otomatis harus baqa' , dan dari kedua mustalahat inilah nantinya terjadi pertentangan oleh para mutasawwif yang berlevel tinggi seperti Aljunaid, Al kharraz, Annuri, yang menjadi penyebab perbedaan itu adalah tatkalah seseorang dalam keadaan hilang (baca:fana') apakah ia harus abadi (baca:baqa') dalam kefana'annya, ataukah ia harus kembali pada kesadarannya untuk kedua kalinya?, seperti yang dinukil oleh Alklulabaziy bahwa alfana' adalah ghaibnya seseorang dari sifat basyariyyahnya ( baca : Manusia ) pendapat yang pertama yaitu para muhaqiqun dari kalangan sufi melihat bahwa seseorang yang sudah sampai ke Hal al-fana' maka ia tidak harus kembali pada kesadaraannya untuk kedua kalinya, dengan beralasan bahwa al-fana' adalah pemberian yang diberikan oleh maha pemberi, dan apabila ia kembali pada sifatnya yang pertama maka sama halnya sang pemberi merampas sesuatu yang telah ia berikan, dan Al haq mustahil dari sifat yang demikian, dan yang mengusung pendapat ini seperti Alkharraz dan Annuri, Dan penapat yang kedua mereka lebih condong mengatakan kembali untuk kedua kalinya dari al hal al-fana' dan membantah pendapat yang pertama dengan alasan bahwa dengan mengabadikan al-fana' maka ia akan berakibat pengguguran hukum-hukum syariat dan melumpuhkan anggota tubuh untuk melaksanakan pekerjaanya baik mencari penghidupan ataupun melaksanakan al wajibat. Alkullabazi seorang sufi terkenal dan banyak mensyarah pendapat tokoh tokoh sufi, lebih condong pada pendapat pertama dia melihat bahwa abadinya fana' disini bukan berarti seorang yang telah mencapai al-hal tersebut itu menjadi idiot atau tak sadarkan diri (baca:pingsan) dan sifat kemanusiaannya lenyap, tapi Allah memberikan keistimewaan kepada hamba tersebut dengan mengosongkan jiwanya dan semua sifat sifatnya, ini berarti bahwa amalan tersebut bukan ikhtiyar seorang hamba tetapi merupakan fadilah yang diberikan oleh allah pada hambanya dan dari sinilah seorang hamba nantinya mentransfer pemberian tersebut padawaktu ia berperoses dari al hal fana' fillah ila maqam al baqa' billah, dan apabila hamba tersebut telah melewati mustawa'(baca:jenjang) ini maka hamba itu akan sampai pada tingkatan yang lebih tinggi yang sering kita sebut dengan alhulul, atau al-ittihad atau yang lebih populernya lagi dengan istilah wihdatul wujud dan pada level inilah tokoh-tokoh sufi semisal Abu yazid al bustami, Ibnu arabi dan Alhallaj menari nari.

 imam Alkusyairi memiliki pandangan lain tentang fana' dan tidak sependapat dengan Fana' yang berakhir dengan al-hulul dan al-ittihad begitu juga dengan At thusi yang meninggal tahun 378 H beliau memberikan tambih atau peringatan sekaligus mentahzir yang berkeyakinan hulul dan ittihad dalam bukunya allumma' fi tarikhi at tashawwuf al islami dia berkata bahwa sifat kemanusian seseorang tidak akan pernah hilang dari manusia. Dan ditempat lain ia memperingatkan pada penduduk Bagdad bahwa mereka telah salah menempuh jalur fana' yang berakhir dengan alhulul. Karena penduduk bagdad pada waktu itu menganggap dirinya telah masuk kedalam sifat al haq tatkala mereka fana' fillah , ini tak jauh beda dengan perkataan orang Nasrani kepada Isa alihi assalam. Dari sini bisa kita lihat bahwa pandangan Ulama' Tasawwuf berbeda tatkala mereka telah sampai pada alhal fana', ada yang hanya sebatas fana' tampa harus masuk kedalam alhulul dan ittihad, dan golongan ini sangat keras terhadap golongan ittihadi bahkan melaknat mereka dan menganggapnya telah keluar nas syariat mereka dari golongan ini seperti Aljunaid, Sahal bin Abdullah Attastariy, Dan golongan yang kedua yang fana'nya sampai kederajat alhulul wal ittihad, golongan ini bahkan sampai meng non aktifkan amalan syariat, dan diantara mereka ada yang menganggap dirinya al-haq,tokoh tokohnya seperti Abu Yazid Albustami, Assyabali, dan Alhallaj. menurut DR Muhammad sayyid al jalyand berkata perbedaan antara keduanya sangatlah tipis dan tidak begitu jauh, karena keduanya memulai dengan jalan (baca:tariqah) yang sama, dan perbedaan itu terjadi pada waktu mereka telah sampai pada maqam alfana'.

Dan terakhir Sebagai catatan pinggir, ulama' sufi yang menggap dirinya dari golongan mu'tadilin telah mencoba untuk meratakan pemahaman alhulul dan ittihad dari golongan mutaakhirin yang telah tenggelam kedalam mahabbah yang jauh kepada Allah hinggah mereka jatuh kedalam pelanggaran syariat, kesemuanya ini telah di tahzir oleh ulama' kita karena sangat berbahaya baik dari segi syariat ataupun dari akal sehat. Wallahu ta'ala a'alam.