Minggu, 25 Oktober 2009

Al hal Fana' dalam Perspektif Kaum Sufi


Ketika kita mendengar istilah diatas maka yang tertashawwur dalam fikiran kita adalah tokoh kontroversial semisal Al hallaj atau Ibnu A'rabi atau para tokoh taswwuf assyatih ( baca : nyeleneh) yang lainnya, mereka inilah yang rela kehilangan nyawa demi membela kalimat diatas, sebenarnya mahiyah atau esensi apa yang terkandung dari kalimat tersebut hingga orang-orang juga ikut takut untuk mempelajari ilmu tasawwuf dan alergi mendengar kata sufi, Abu Said Alkharraz mencoba mensyarah ma'na dari istilah fana' ini ia mengatakan fana' adalah : apabila seseorang menyerahkan kuasanya hanya pada Allah Swt. dan bergantung hanya padanya, dan tenang disampingnya maka dia lupa akan dirinya. Dan dia akan melupakan semuanya kecuali Allah, dan apabila kita berkata kepadanya siapa Engkau dan apa yang Kamu inginkan maka tidak ada jawaban yang lebih afadhal kecuali jawaban aku adalah Allah, yang aku inginkan adalah Allah.

Bila dilihat dari histori atau Awal mula pengistilahan kalimat fana' para ulama' masih berbeda pendapat, tetapi dari pendapat yang paling mayoritas dari buku buku tasawwuf lebih condong kepada tokoh Rabiah Al Adawiyah yang meninggal pada tahun 185 H. tetapi pendapat ini di bantah oleh. Dr Muhamad Sayyid Al Jalyand beliau berkata istilah fana' ini belum dikenal sebelum abad ketiga hijriyah dan adapun kemudian perkataan fana' almuhib fi al mahbubihi yang disandarkan kepada Rabiah Al Adawiyah tidak bias menadi asumsi dan tidak bisa untuk dijadikan alasan karena fana' itu sendiri adalah merupakan musthalah madzhabi yang mempunyai arti khusus yang dimana hal tersebut tidak dikenal oleh Rabiah itu sendiri dan pengistilahannya belum ada dizamannya.

Apabila kita ingin mencermati istilah ini maka pengistilahan kalimat fana' itu sendiri sering di gunakan oleh kaum sufi sebagai muqabalah dari al baqa' (baca: abadi) yang mana kedua musthalahat ini tak bisa di pisahkan satu dengan lainnya oleh karenanya apabila seorang sufi telah fana' maka dia dengan otomatis harus baqa' , dan dari kedua mustalahat inilah nantinya terjadi pertentangan oleh para mutasawwif yang berlevel tinggi seperti Aljunaid, Al kharraz, Annuri, yang menjadi penyebab perbedaan itu adalah tatkalah seseorang dalam keadaan hilang (baca:fana') apakah ia harus abadi (baca:baqa') dalam kefana'annya, ataukah ia harus kembali pada kesadarannya untuk kedua kalinya?, seperti yang dinukil oleh Alklulabaziy bahwa alfana' adalah ghaibnya seseorang dari sifat basyariyyahnya ( baca : Manusia ) pendapat yang pertama yaitu para muhaqiqun dari kalangan sufi melihat bahwa seseorang yang sudah sampai ke Hal al-fana' maka ia tidak harus kembali pada kesadaraannya untuk kedua kalinya, dengan beralasan bahwa al-fana' adalah pemberian yang diberikan oleh maha pemberi, dan apabila ia kembali pada sifatnya yang pertama maka sama halnya sang pemberi merampas sesuatu yang telah ia berikan, dan Al haq mustahil dari sifat yang demikian, dan yang mengusung pendapat ini seperti Alkharraz dan Annuri, Dan penapat yang kedua mereka lebih condong mengatakan kembali untuk kedua kalinya dari al hal al-fana' dan membantah pendapat yang pertama dengan alasan bahwa dengan mengabadikan al-fana' maka ia akan berakibat pengguguran hukum-hukum syariat dan melumpuhkan anggota tubuh untuk melaksanakan pekerjaanya baik mencari penghidupan ataupun melaksanakan al wajibat. Alkullabazi seorang sufi terkenal dan banyak mensyarah pendapat tokoh tokoh sufi, lebih condong pada pendapat pertama dia melihat bahwa abadinya fana' disini bukan berarti seorang yang telah mencapai al-hal tersebut itu menjadi idiot atau tak sadarkan diri (baca:pingsan) dan sifat kemanusiaannya lenyap, tapi Allah memberikan keistimewaan kepada hamba tersebut dengan mengosongkan jiwanya dan semua sifat sifatnya, ini berarti bahwa amalan tersebut bukan ikhtiyar seorang hamba tetapi merupakan fadilah yang diberikan oleh allah pada hambanya dan dari sinilah seorang hamba nantinya mentransfer pemberian tersebut padawaktu ia berperoses dari al hal fana' fillah ila maqam al baqa' billah, dan apabila hamba tersebut telah melewati mustawa'(baca:jenjang) ini maka hamba itu akan sampai pada tingkatan yang lebih tinggi yang sering kita sebut dengan alhulul, atau al-ittihad atau yang lebih populernya lagi dengan istilah wihdatul wujud dan pada level inilah tokoh-tokoh sufi semisal Abu yazid al bustami, Ibnu arabi dan Alhallaj menari nari.

 imam Alkusyairi memiliki pandangan lain tentang fana' dan tidak sependapat dengan Fana' yang berakhir dengan al-hulul dan al-ittihad begitu juga dengan At thusi yang meninggal tahun 378 H beliau memberikan tambih atau peringatan sekaligus mentahzir yang berkeyakinan hulul dan ittihad dalam bukunya allumma' fi tarikhi at tashawwuf al islami dia berkata bahwa sifat kemanusian seseorang tidak akan pernah hilang dari manusia. Dan ditempat lain ia memperingatkan pada penduduk Bagdad bahwa mereka telah salah menempuh jalur fana' yang berakhir dengan alhulul. Karena penduduk bagdad pada waktu itu menganggap dirinya telah masuk kedalam sifat al haq tatkala mereka fana' fillah , ini tak jauh beda dengan perkataan orang Nasrani kepada Isa alihi assalam. Dari sini bisa kita lihat bahwa pandangan Ulama' Tasawwuf berbeda tatkala mereka telah sampai pada alhal fana', ada yang hanya sebatas fana' tampa harus masuk kedalam alhulul dan ittihad, dan golongan ini sangat keras terhadap golongan ittihadi bahkan melaknat mereka dan menganggapnya telah keluar nas syariat mereka dari golongan ini seperti Aljunaid, Sahal bin Abdullah Attastariy, Dan golongan yang kedua yang fana'nya sampai kederajat alhulul wal ittihad, golongan ini bahkan sampai meng non aktifkan amalan syariat, dan diantara mereka ada yang menganggap dirinya al-haq,tokoh tokohnya seperti Abu Yazid Albustami, Assyabali, dan Alhallaj. menurut DR Muhammad sayyid al jalyand berkata perbedaan antara keduanya sangatlah tipis dan tidak begitu jauh, karena keduanya memulai dengan jalan (baca:tariqah) yang sama, dan perbedaan itu terjadi pada waktu mereka telah sampai pada maqam alfana'.

Dan terakhir Sebagai catatan pinggir, ulama' sufi yang menggap dirinya dari golongan mu'tadilin telah mencoba untuk meratakan pemahaman alhulul dan ittihad dari golongan mutaakhirin yang telah tenggelam kedalam mahabbah yang jauh kepada Allah hinggah mereka jatuh kedalam pelanggaran syariat, kesemuanya ini telah di tahzir oleh ulama' kita karena sangat berbahaya baik dari segi syariat ataupun dari akal sehat. Wallahu ta'ala a'alam. 

0 komentar:

Posting Komentar