Pendahuluan
Al-Quran yang turun dari tempat yang paling tertinggi dan dibawah langsung oleh malaikat suci (baca:jibril), merupakan mu’jizat yang tak ada duanya di alam ini dan akan terus selalu unggul dari setiap yang diunggulkan dan ini akan terus berlangsung sampai hari yang di tentukan, dan juga Allah swt. telah menjamin Al-Quran ini dari tangan orang-orang yang ingin merusaknya (kamilah yang menurunkan Al-Quran dan kami pulalah yang menjaganya).
Karena ia yang unik dan juga selalu sesuai dengan zaman maka Al-Quran akan terus selalu di kaji sesuai dengan perkembangan zaman, dan dia tidak akan bertentangan dengan zaman, dan Al-Quran tidak pernah di warnai oleh zaman akan tetapi Al-Quranlah yang mewarnai zaman, karena dengan Al-Quranlah zaman itu berkembang dan dengan Al-Quran pulalah kita bisa membuat peradaban dan dengan Al-Quran tersingkaplah ilmu-ilmu Allah yang ada di alam ini, oleh karenanya salah satu penyebab kemunduran islam di zaman ini karena mereka jauh dari Al-Qurannya dan lebih bangga untuk membeo kepada barat. dan juga terkadang ummat islam tidak mau mengaca dengan para pendahulunya yang dimana telah membuat peradaban yang besar yang ditulis dengan tinta emas dengan bimbingan Al-Quran.
oleh karena itu sebagai mahasiswa islam seyogianya terus mengkaji kandungan isi dari Al-Quran dan juga meneliti permasalahan-permasalahan yang sudah atau yang belum di kaji oleh para ulama kita yang terdahulu, karena pembahasan yang telah mereka kaji belum final. Dan jangan ada kata taqlid selama kita ingin mencari kebenaran. Karenanya pada kesempatan ini kami akan membahas salah satu permasalahan yang cukup penting yang terdapat didalam pengkajian Al-Quran. terkhususnya lagi dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Quran yang dalam hal ini terfokus pada pembahasan ayat-ayat yang bersifat muhkam dan ayat ayat yang bersifat mutasyabih.
Pembahasan.
Secara histori maudu’ ini bermuara tatkala Allah menurunkan surah (ali imran ayat 7) yang disini natinya terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’-ulama tafsir di dalam menjatuhkan vonis yang mana termasuk ayat ayat yang telah terdeteksi muhkam dan mana ayat yang mutasyabih. Berangkat dari sini jugalah mengapa ulama’ tafsir tatkala ingin memulai pembahasan ini mereka memulainya dengan surah ali imran. Ayat tersebut berbunyi yang artinya : Dia lah yang menurunkan alkitab (Al-Quran) kepada kamu diantarnya ada ayat-ayat yang muhkamat dan itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain mutasyabihat dan adapun orang yang hatinya condong pada kesesatan maka mereka mengikuti sebahagian ayat ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “kami beriman pada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sis tuhan kami” dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal.”
Di sisi lain imam suyuti meriwayatkan ada beberapa pandangan di dalam pembagian ini ada yang yang berasumsi bahwa keseluruhan dari ayat-ayat Al-Quran adalah muhkam dan ada juga yang berpandangan kebalikan dari pendapat pertama bahwa keseluruhan dari dari Al-Quran adalah mutasyabih. Pendapat yang pertama mereka mengambil dasar pijakan dengan firman Allah dalam surah (hud ayat 1) dan juga pada surah (yunus ayat 1) dan pendapat yang kedua mengambil dalil dari surah (azzumar ayat 23). kalau kita ingin melihat lebih lanjut sebenarnya masalah antara kedua pendapat ini tidaklah begitu serius, dan kita tidak perlu merajihkan salah satu pendapat sebagai mana yang diriwayatkan oleh imam suyuti dari ibnu habib an-nisaburi, karena kedua pembagian yang di singgung oleh an-nisaburi tersebut memang terdapat di dalam Al-Quran dan diantara ulama ada juga yang telah membaginya, dan penulispun merasa bahwa ibnu habib an-nisaburi ingin mengatakan seperti demikian, hanya ibnu habib an-nisaburi mempunyai sangkaan lain bahwa kedua dalil yang disebutkan oleh kedua pendapat diatas bukan menunjukkan kepada sifat ayat Al-Quran secara umum akan tetapi Al-Quran secara khusus.
Dikalangan ulama yang telah membaginya menjadi tiga adakah Syaik utsaimin didalam sayrah ushul at tafsir membagi Al-Quran dari sudut pandang al muhkam dan al mutasyabih menjadi tiga bagian, yang pertama : ihkam al am, dimana Al-Quran di sifati secara umum.dalilnya dalam surah (hud ayat 1) yang arti bebasnya “ inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi serta di jelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang maha bijaksana lagi mahatahu. Yang kedua: at tasyabuh al am dalilnya surah (azzumar ayat 23) yang arti bebasnya Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang. Kemudian pembagian yang ketiga terakhir adalah ihkam al khash bi ba’dhi hi wa at tasyabuh bi ba’dhi hi contohnya surah (ali imran ayat 7) sebagai mana telah kami jelaskan sebelumnya . Ini senada dengan yang dikatakan oleh imam Fakhruddin Arrazi dalam Tafsir Al kabirnya beliau mengatakan bahwa “ketahuilah bahwa di dalam Al-Quran ada ayat yang menjukkan muhkam secara umumnya dan mutasyabih secara umumnya dan ada juga ayat yang sebahagianya muhkam dan sebahagiannya mutasyabih”. Adapun yang dimaksud dengan muhkam secara kulli adalah semua perkataan yang terdapat didalam Al-Quran itu adalah al-hak dan juga ke fasihan dari semua lafadz yang ada didalamnya dan ma’nanya selalu mengandung kebenaran dan dari keseluruhan ucapan dan perkataan yang di dapatkan maka Al-Quran tidak akan ada yang menandinginya. Adapun at tasyabuh secara umum atau kulli sebagaimana yang di sebutkan dala Al-Quran surah (azzumar ayat 23) bahwa kandungan dari Al-Quran itu selalu berserikat di dalam kebenaran dan selalu membenarkan satu dengan lainnya, sebagai mana ayat yang artinya “ sekiranya Al-Quran ini bukan dari sisi Allah maka akan di dapati perbedaan yang banyak”
Definisi muhkam dan mutasyabih
Kalau kita kembali ke ayat di atas surah (ali imran ayat 7) maka Dari ayat ini telah cukup jelas pengkhabarkan Allah kepada kita tentang pembagian sifat kalam tersebut menjadi dua yang pertama ayat ayat yang muhkam dan yang kedua ayat ayat yang mutasyabih, sebelum kita masuk lebih dalam lagi perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari kedua istilah tersebut diatas.
Kata muhkam Dari segi bahasa Menurut penulis Manna’ul Qatthan dalam bukunya Mabahist Fi Ulumil quran mengatakan bahwa ia berasal dari kata-kata : “hakamtud dabbata wa ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan : “hakamtus safiha wa ahkamtuhu” artinya saya memegang kedua tangan orang dungu, juga dikatakan : ” hakamtud dabbata wa ahkamtuha” artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Sedangkan Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman dalam surah ( al Baqarah: 25). Maksudnya sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan.
Muhkam dan mutasyabih secara khusus
Sebagai mana kami katakan diatas bahwa Al-Quran disifati dengan muhkam secara kulli dan dia juga mutasyabih secara umum dan juga kami katakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat juga ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat, imam suyuti didalam kitabnya al itqan menyebutkan kurang lebih sepuluh pendapat ulama’ tentang perbedaan ini. Diantara pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa, Al-Muhkam adalah apa yang di ketahui maksudnya baik itu secara takwil ataupun secara dzahir, dan mutasyabih apa yang hanya Allah mengetahuinya seperti hari pembalasan keluarnya dajjal,dan huruf muqathaah di awal-awal surah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang di maksud dengan Al-Muhkam adalah apa yang terang atau jelas ma’nanya dan mutasyabih sebaliknya . Manaul Qatthan dalam bukunya menyebutkan juga perbedaan tersebut diantaranya Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerluan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian. Ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain . Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haramm hudud (hukuman) kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifatNya, antara lain : dalam surah : (Taha : 5), (al Qasas: 88), ( al fath: 10), ( al An’am: 18), (al Fath: 22), (al Fath : 6), (al Bayyinah: 8),(Aliimran:31) Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk didalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.
Dari sini kita melihat dengan banyaknya pengertian yang di berikan oleh ulama-ulama kita ada kemungkinan sulit untuk mentahdid tarif dari muhkam dan mutasyabih tersebut. tetapi kalau kita melihat ta’rif yang digunakan kebanyakan dari mereka maka kebanyakan dari para ulama’ kita mendefinisikan ayat al-muhkam itu sebagai sesuatu yang mudah difahami oleh akal dan sifatnya lebih menekankan kepada pengamalan jasmani. sementara ayat-ayat al mutasyabih ulama’ lebih banyak bertendensikan pada hal-hal yang sulit bagi akal untuk menjangkaunya atau memahaminya atau dengan kata lain hal-hal yang sifatnya metafisika dan abstrak yang dimana arrasikhuna fi ilmi mengatakan kami beriman saja. Maka dari ini untuk sementara kami berkesimpulan bahwa perbedaan antara muhkam dan mutasyabih selain perbedaan dari segi lughawiyyah maksud kami adalah penamaan atau ( tasmiyah) juga perbedaan kepada sesuatu yang dituntut untuk diamalkan dan mudah difahami dan inilah yang kami maksud dengan muhkam. Dengan sesuatu yang tidak mudah untuk digapai maksudnya oleh akal dan kita dituntut cukup untuk menyakininya maka inilah yang kami maksud dengan ayat yang mutasyabih. sebagai mana yang dikatakan oleh imam ibnu abi hatim telah diriwayatkan dari akramah dan qatadah dan selain dari keduanya : bahwa muhkam apa yang di amalkan dam mutasyabih apa yang dituntut untuk di imani dan tidak diamalkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar