Rabu, 17 Februari 2010

HASAN & HUSAIN Vol 2

Husain Radiyallahu Taala Anhu

A. Pendahuluan
Husain bin Ali Radiyallahu anhuma adalah salah satu cucu Rasulullah saw yang sangat di cintainya kecintaan beliau sama dengan kecintaannya terhadap kakaknya Hasan, oleh karenannya banyak dari hadits yang datangnya dari nabi saw menjelaskan tentang keutamaan Hasan selalu digandeng dengan keutamaan Husain Radiyallahu Anhuma, sebagai mana yang telah kami sebutkan diatas tentang keutamaan Hasan seperti rasululllah sangat mencintai beliau, di bagian lain Hasan dan Husain adalah sayyid assyabab fil jannah dan masih banyak hadits yang menjelaskan keutamaan beliau. Hasan Radiyallahu Taala Anhu sebagai mana yang di yakini oleh orang syiah merupakan khalifah ke tiga setelah imam Ali radiyallahu anhu, imam Hasan radiyallahu anhu terus setelahnya imam Husain bin Ali radiyallahu anhu. Akan tetapi kita sebagai ahli sunnah meyakini bahwa beliau bukanlah kalifah akan tetapi merupakan sahabat Rasulullah dan juga ahlul baitnya yang wajib kita hormati dan kita sayangi beliau meninggal dalam keadaan terzdalimi kita memohon agar allah memberikan beliau tempat yang tenang amin.

B. Kemuliaan Husain bin Ali radiyallahu taala anhuma
Di riwayatkan Tatkala abdullah bin amru bin a'sh radiyallahu anhu duduk di samping ka'bah bersama sekumpulan orang tiba tiba lewatlah Husain radiyallahu anhu berkata abdullah bin amru " apakah kalian tahu orang yang penduduk bumi sampai kelangit mencintainya sampai hari ini ? mereka berkata " tidak," lalu di a berkata ini ….dan beliau berisyarat kepada Husain radiyallahu anhu, daintara mereka ada dari kalangan a'rabiy yang berkata : celakahlah dia dari penduduk bumi, mereka bertanya " kenapa? Dia berkata : karena tempatnya di langit. Hamid Ahmad Tahir mengomentari riwayat ini dia berkata demikianlah kedudukan Husain di mata ummat pada waktu itu mereka mengumpamakan dia seperti seorang yang tak ada tempat lagi baginya di dunia ini lantaran kemuliaannya radiyallahu taala anhu.
Husain Radiyallahu Taala Anhu di lahirkan di madinah al munawwarah pada seperlima malam di bulan sya'ban tahun keempat hijriyah, Ibnu Asakir meriwayatkan dengan isnadnya sendiri dari jalan Abi Abdullah bin Mandah dia berkata Husain bin Ali bin abi thalib abu abdullah al hasyimiy ibnu rasulillah , dilahirkan pada seperlima malam dibulan sya'ban tahun ke empat hijriyah

C. Qunniyah beliau Radiyallahu Taala Anhu
Diriwayatkan oleh imam Muslim didalam ( al kunny wal asma') dari jalan maki bin abdan dia berkata : aku mendengar Muslim bin hujjaj berkata : Abu abdullah al Husain bin Ali bin abi thalib radiyallahu anhuma – dan dia mempunyai riwayat dari Rasulullah.

D. Wafatnya Husain bin Ali radiyallahu taala anhuma.
Sebelum saya menyebutkan kronologi kejadian yang terjadi di karbala' perlu di ketahui bahwa kaum syiah utamanya Istna' asariah sering mengangkat angkat permasalahan penderitaan ahlul bait di karbala ini bahkan sampai sekarang ini mereka masih merayakan hari karbala' yaitu hari dimana kematian Husain bin Ali radiyallahu anhuma. pada bulan muharram dengan berbagai cara ada yang memukul wajah mereka dan badan mereka dan meratap ratap dan melaknat semua yang terlibat di dalam masaalah karbala' karena ini merupakan salah satu masalah yang cukup besar dalam firqah syiah, akan tetapi sangat di sayangkan di masa sekarang masih banyak dari kalangan kaum muslimin tidak mengetahui kronologi kejadiannya seperti apa?


Awal mula sebelum kejadian Karbala'
Tatkala muawiyyah radiyallahu anhu mendekati ajalnya beliau meminta anaknya untuk menggantikan posisinya sebagai khalifah, pada awalnya wasiat muawiyyah ini tidak di dengarkan langsung oleh Yazid akan tetapi Muawiyah radiyallahu anhu menitip wasiat ini kepada utusan agar Ubaidah bin ziyad membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah.
Selain wasiat untuk menggantikannya sebagai raja ada hal terpenting di dalam wasiatnya tersebut diantaranya adalah Muawiyah berkata " bahwa sungguh tak menakutkan bagiku tentang urusan ini kecuali empat orang dari quraisy : yang pertama Husain bin Ali, yang kedua abdullah bin Umar, yang ketiga abdullah bin zubair yang keempat abdurrahman bin abi bakar
Kemudian beliau mengatakan tatkala sakit Muawiyah sudah semakin parah pada waktu itu Yazid lagi tidak berada di sampingnya, kemudian dia memanggil Addahak bin qeiys al fahri dan muslim bin aqbah almari'iy, lalu ia berwasiat kepada keduanya, dia berkata " sampaikan kepada Yazid wasiatku ini : lihatlah ahlu hijaz mereka telah hancur, maka muliakanlah orang yang datang kepadamu dari mereka, dan saling berjanjilah kepada yang tidak ada …………dan seterusnya! Setelah ia menyampaikan wasiatnya iapun meninggal di tahun itu.

Baiat Yazid bin Muawiyah
Sebagai mana telah kami sebutkan diatas bahwa Yazid bin Muawiyah tidak melihat ayahnya sakit parah dan meninggal, tatkala ia mendengar berita ayahnya telah meninggal diapun datang dan kedatangannyapun terlambat karena Muawiyah telah di kuburkan. Setelah penguburan iapun di baiat sebagimana wasiat ayahnya dan umur Yazid pada waktu itu sebulan tiga puluh dua tahun, maka dia pun melantik Ubaidillah bin Ziyad di Bashrah, Nu'man ibnu basyir di Kufah, Amru bin said bin ash di Mekkah, Al walid bin abi sofyan di Madinah, akan tetapi Yazid bin Muawiyah masih belum tenang selama keempat orang yang di sebutkan oleh ayahnya tersebut membaiatnya, maka pada waktu itu Yazid mengirim surat ke wAlid bin Atabah, diantara isi suratnya itu : " ammaba'du, maka ambillah hai walid baiat dari Husain bin Ali dan abdullah bin Umar dan abdullah bin zubair. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Yazid memerintahkan walid mengambil baiat ke Husain dengan lemah lembut, lalu tiba tiba datanglah marwan bin hakam dan berkata kepada walid : utuslah kepada mereka dan serulah ia untuk berbaiat, kalau tidak maka tebaslah lehernya. Walid pun berkata : subhanallah aku membunuh Husain bin Ali? Dan abdullah bin Zubair maka berkata marwan : dia… seperti apa yang kukatakan kepadamu.
Syaikh Irfan di dalam bukunya menyebutkan bahwa Yazid mengirim walid ke marwan, dan berkonsultasi kepadanya , walid pun berkata : bagai mana pendapatmu sekarang apa yang akan aku perbuat? Dia berkata : dalam pandanganku utuslah sekarang kepada mereka utusan untuk menyeru kepada mereka agar berbaiat , apabila mereka melakukannya( berbaiat) maka terimahlah dia dan apabila mereka menolak maka tebaslah lehernya sebelum mereka mendengar kematian Muawiyah, apabila mereka telah mengetahuinya maka mereka akan memasang strategi dan menentang Yazid kemudian memploklamirkan kekhalifaan, kecuali abdullah bin Umar maka janganlah engkau membunuhnya karena dia tidak berambisi untuk menjadi khalifah. . lalu walid pun memerintahkan abdullah bin amru bin utsman untuk memanggil Husain dan ibnu zubair untuk menghadap ke amir, sebelum mereka pergi ke walid abdullah bin zubair radiyallahu anhu bertanya kepada Husain Radiyallahu Taala Anhu mengapa mereka di panggil. Hasan pun menjawab : aku menyangka kesewena wenangan telah hancur, dan kita di utus untuk berbaiat sebelum khabar tersiar dan tersebar. Ibnu zubair berkata apa yang akan engkau lakukan, beliau berkata datangkanlah ahlu baitku sekarang dan aku akan datang bersama mereka, berkata zubair : yang aku takutkan adalah apabila engkau masuk kepada mereka. akan tetapi Husain pun tetap berkeras untuk mendatangkan ahlul baitnya karena dengan itu hatinya menjadi lebih tenang
Husain pun berangkat bersama ahlul baitnya lalu berkata kepada mereka : apabila aku memanggilmu atau suraku meninggi maka masuklah ke dalam, tapi apabila engkau tidak mendengarkan aba aba maka janganlah engkau bergerak, Hasan masuk kedalam ruangan walid dan memberi salam kemudian duduk , dan walid membacakan tulisan, dan mengumumkan kematian Muawiyah, dan memerintahkan untuk berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, Husainpun berkata :

ان لله وان اليه راجعون
Semoga allah merahmati Muawiyah dan memberikan kepadamu pahala yang agung. Dan adapun pemabaitan maka aku tak akan berbaiat secara sembunyi sembunyi, dan aku melihat engkau tidak akan menerima apabila aku berbaiat secara sembunyi sembunyi sampai aku memperlihatkan baiatku kepada orang banyak. Walid berkata tentu.
pada waktu itu sebenarnya ada beberapa calon yang bisa menjadi khilafah.
Yang pertama : Husain bin Ali dan ahlu baitnya.
Yang ke dua : bani umayyah dari furu' sofyan mereka itu diantaranya Muawiyah dan anak anaknya
Yang ke tiga bani umayyah dari furu' marwan
Yang ke empat abdullah bin zubair.
Akan tetapi dari kalangan bani umayyah ambisi kekhalifaannya lebih tinggi maka ia bersegera menyuruh berbaiat orang orang yang mengancam kedudukannya tersebut.

Syahidnya Husain Radiyallahu Taala Anhu .
Setelah pengangkatan Yazid bin Muawiyah. Husain beserta keluarganya pindah ke mekkah, setelah menetap berapa lama disana ( sekitar empat bulan ) , kemudian datanglah sebuah surat dari kufah yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembela ahlul bait meminta agar Husain radiyallahu anhu menginggalkan mekkah dan berhijrah ke kufah dan menjadi pemimpin mereka di sana, dan poin penting yang dapat dipetik dari surat tersebut bahwa warga kufah menunggu kedatangan Husain radiyallahu anhu dan meminta beliau menjadi imam mereka. Akhirnya Husain radiyallahu anhu berangkat ke kufah bersama keluarganya pada tahun enam puluh hijriyah , sebenarnya keberangkatan beliau ke kufah tidak mendapat respon yang baik dari sahabat sahabat nabi banyak diantara mereka yang melarang untuk berangkat kesana di karenakan penduduk kufah telah menghianati imam Ali radiyallahu anhu dan mereka takut hal ini terjadi pada diri Husain radiyallahu anhu, di ceritakan bahwa muhammad bin Ali bin abdul muthalib yang lebih dikenal dengan muhammad bin hanafiyyah berkata kepada saudaranya Husain " wahai saudaraku engkau telah mengetahui bahwa penduduk kufah telah berhianat kepada ayahmu dan juga saudaramu, dan aku takut kejadian ini menimpamu sebagaimana pendahulumu. pada tahun Enampuluh satu di bulan Muharram Husain radiyallahu anhu sampai ke tanah karbala' , tatkala beliau sampai disana Husain bertanya apa nama daerah ini, maka di katakan kepada beliau bahwa daerah ini adalah daerah karbala', lalu diapun berkata
اللهم انى اعوذ بك من الكرب والبلاء
Hasan Radiyallahu Anhu tidak tahu kalau daerah yang di datanginya itu akan menjadi saksi akhir hidupnya beserta keluarganya, telah menjadi mutawatir di kalangan muarrikhin syiah maupun sunni bahwa daerah karbala' adalah tempat Hasan radiyallahuanhu menghembuskan nafasnya yang terakhir di sebabkan penghianatan yang dilakukan oleh pengikutnya sendiri. berkata Abdullah bin abdurrahman bahwa sesungguhnya pengikut Husain radiyallahu anhu merekalah yang menyeru untuk menolongnya dan mereka pulalah yang membunuhnya berkata Kadzim al ihsaiy annajafi bahwa tentara Kufah yang keluar memerangi Husain bin Ali sekitar tiga ratus ribu pasukan, semuanya dari penduduk Kufah bukan dari penduduk syam, bukan pula dari hijaz, bukan india,bukan pakistan, bukan sudan, bukan mesir, bukan afrika, akan tetapi semuanya dari penduduk kufah berkata syaikh syiah Baqiy Syarif Al qursy " penduduk kufah telah melupakan surat yang mereka kirimkan kepada imam ( Husain radiyallahu anhu) dan baiat mereka ke padanya
Diceritakan bahwa sebelum assyahid Husain bin Ali radiyallahu anhuma di bunuh secara dzalim , para keluarga dan pengikut beliau telah dibantai terlebih dahulu. Dan yang tersisa pada waktu itu hanyalah Husain radiyallahu anhu mereka membiarkan Husain radiyallahu anhu tersiksa dan kehausan, karena hausnya tak tertahankan lagi iapun radiyallahu anhu maju untuk minum , tatkala Hushain bin tamim melihat hal tersebut iapun langsung mengambil panahnya dan memanah beliau dan tertancap pas dimulut Husain radiyallahu anhu, pada waktu itu mengalirlah darah dari mulut beliau dan bersumburan kelangit, lalu ia mendekatinya dan berjalan dengan sombongnya ia pun berkata : apa yang kau tunggu dari orang ini??!, bunuhlah ia . maka Zarah bin Syarik menghantamkan pedangnya di pundak Hasan, dan yang lainnys menghantam bahunya, kemudian Sanan bin Anas mengambil Husain lalu munusuknya dengan tombak kemudian Husain pun tersungkur jatuh kemudian diapun menggorok kepala Husain radiyallahu anhu dan kemudian ia menyerahkannya ke khuwaili bin Yazid al ashbahi


Minggu, 14 Februari 2010

HASAN & HUSAIN

Sebelum saya membahas secara panjang lebar tentang kedua cucu Rasulullah ini, saya ingin menyampaikan bahwa pembahasan tentang kedua syuhada ini sebetulnya ada dua poin yang cukup besar yang perlu kita diskusikan bersama. yang pertama tentang penyerahan kekhalifaan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah radiyallahu taala anhum, dan yang kedua tentang kematian Hasan bin Ali radiyallahu taala anhuma di karbala. dan di makalah saya sengaja saya tidak mencantumkan syubhat syubhat di seputar ke khalifaan siapakah yang lebih berhak setelah Rasulullah saw karena sepengetahuan penulis syubhat yang di lontarkan oleh orang orang utamanya kaum Arrafidah, telah di bahas oleh teman teman pada pertemuan yang lalu yaitu di sekitar pengangkatan ke khalifaan dan disini penulis lebih menitik beratkan di seputar penyerahan kekhalifaan pada muawiyah dan kemaatian husain yang selama ini masih pudar . Dan saya memomohon moga moga amal usahaku ini menjadi penambah amalanku nanti di hari kiamat. Insya allah amin

Pembahasan Pertama
Khalifah Hasan bin Ali Radiallahu Taala Anhu

A. Pendahuluan
Beliau adalah Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abdul MuthAlib bin Hasyim bin abdul Manaf Al hasyimiy Al quraysiy, Al madani Assyahid . beliau adalah cucu dari Rasulullah Saw dan beliau juga sayyid bagi para syabab disyurga dan dia merupakan keturunan dari rahim yang suci dari putri junjungan alam Fatimah Azzahra', dan ayah dari Amirulmu'minin Ali bin abi Thallib radhiyallahu taala anhu dan cucu laki laki dari ummul mu'minin Khadijah dan salah satu dari lima Al khulafa' arrasyidin
Beliau di lahirkan pada bulan Ramadhan tahun ketiga hijriyah, dalam riwayat yang lain beliau dilahirkan pada bulan sya'ban, dalam riwayat yang lain pada bulan setelahnya. Berkata imam Laits bin Saad : Fatimah binti Rasulullah bersAlin pada bulan rhamadan tahun ketiga hijriyah dan Husain dilahirkan pada bulan sya'ban tahun ke empat hijriyah , Al barqi Ahmad bin Abdullah bin Abdul Rahim mengatakan bahwa Hasan radhiyallahu taala anhu dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan tahun ketiga hijriyah senada juga dikatakan oleh Ibnu Said dalam Thabakatnya masih banyak lagi riwayat yang lain menjelaskan tentang kelahiran beliau. tapi riwayat yang benar adalah bahwa imam Hasan radiyyallahu taala anhu di lahirkan pada bulan Ramadhan pada tahun ketiga di bulan Ramadhan dan inilah pandapat yang di pilih oleh Dr Asshalaby

Mengapa disebut dengan Hasan ?
Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'di dari Imran bin Sulaiman dia berkata : Hasan dan Husain dua nama dari nama ahli surga, dan bangsa Arab Jahiliyah tak pernah memakai nama tersebut . Berkata abu Ahmad Alaskary: nama tersebut tak pernah di kenal di masa jahiliyyah .Berkata al Mufaddhal Allah Swt menyembunyikan nama Hasan dan Husain sampai nabi saw menamakan cucunya dengan nama tersebut .
Pada awalnya imam Ali Radiyallahu Taala Anhu tidak menamai anaknya dengan nama Hasan begitu pula Husain tetapi rasul sendirilah yang langsung memberikan nama tersebut, ini sebagaimana di riwayatkan oleh imam ahmad rahimahullaah dalam musnadnya dari imam Ali radiyallahu anhu dia berkata: Tatkala Hasan lahir maka aku menamainya dengan hamzah, dan tatkala Husain di lahirkan maka dinamai dengan nama pamannya ja'far. Kemudian beliau berkata : Rasulullah memanggilku dan bersabda kepadaku ” aku memerintahkan untuk mengganti nama kedunya" maka aku berkata allah dan rasulnya lebih mengetahui
senada dengan riwayat Imam Tabrani dan jalan Abdullah bin Aqil dari Muhammad bin Ali dari Ali radiyallahu anhu bahwa beliau menamai anak sulungnya dengan Hamzah, dan menamai Husain dengan ja'far dengan nama pamannya, lalu rasullulah menamai keduanya dengan Hasan dan Husain
Dalam riwayat lain Imam Ahmad didalam musnadnya dan Imam Bukhari dalam kitabnya ( adabul mufrad ) dan selainnya dari jalan Hani bin Hani dari Ali radiyalahu anhu beliau berkata tatkala Hasan lahir maka aku menamainya dengan Hurban dan Rasulullah datang dan berkata" berikan kepadaku anakku, dengan apa kau menamainya? Maka aku berkata Hurban, nabi berkata" tidak namanya adalah Hasan". Tatkala Husain lahir maka akupun menamainya dengan Hurban dan Rasulullah datang dan berkata" berikan kepadaku anakku, dengan apa kau menamainya?" Maka aku berkata Hurban, nabi berkata tidak namanya adalah Husain.
Tatkala lahir yang ketiga maka akupun menamainya dengan Hurban dan Rasulullah datang dan berkata" berikan kepadaku anakku, dengan apa kau menamainya?" Maka aku berkata Hurban, nabi berkata tidak namanya adalah Muhsin kemudian beliau berkata : "aku menamai mereka dengan nama anak harun , Syabbar,Syabiyr,Musyabbir.

B. Keutamaan Hasan bin Ali Radiyalahu Taala Anhu
Dikatakan oleh Dr Ila' Al bakar dalam bukunya Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah Fi Shahabati Wa Ahlul Bait : bahwa kedudukan Hasan bin Ali Radiyallahu anhuma termulia dari kalangan ahlu bait,dan posisi beliau di kalangan ahli sunnah adalah sebagai penolong dan seluruh penghormatan dan kecintaan ada pada diri beliau, dan beliau merupakan khalifah yang kelima setelah abu Bakar, Umar, utsman, Ali radiyallahu ta'ala a'nhum, yang telah menyelamatkan dan mentranfusikan darah kaum muslimin hingga perang dan fitnah pun meredah yang akhirnya beliau rela melepaskan kekhalifaannya dan memberikan kepada Muawiyah radiyallahu taala anhu. sungguh benar apa yang di sabdakan oleh Rasulullah dan diramalkannya bahwa Hasan Radiallahu Taala Anhu akan menjadi penyatu dari dua kelompok kaum muslimin. Sebagai mana sabda beliau yang di riwayatkan oleh imam Bukhari rahimahulah dari abu Bakar radiyallahu ta'ala anhu beliau berkata aku mendengar Rasulullah saw tatkala beliau berada diatas mimbar dan Hasan berada disampingnya, kemudian beliau melihat ke manusia sekali dan ke Hasan sekali kemudian beliau bersabda " sesungguhnya anakku ini merupakan sayyid, dan semoga allah( menjadikan dia) pengishlah antara dua kelompok dari kalangan muslimin.
Dan dikeluarkan oleh abu nu'aim di dalam bukunya ( al hilya) dari abu Bakar radiyallahu anhu beliau berkata bahwa Rasulullah pada suatu hari shalat bersama kami lalu Hasan datang dan dia dalam keadaan sujud, dan pada waktu itu Hasan masih kecil kemudian duduk dipundak beliau dan diatas lehernya kemudian beliau mengangkatnya dengan angkatan yang sangat lembut, tatkala shalat telah selesai sahabat lalu berkata kepada beliau, wahai Rasulullah engkau melakukan suatu perbuatan yang tak pernah engkau lakukan terhadap seorangpun, lalu nabipun berkata
)ان هذا ريحناتي و ان هذا ابني سيد وحسبي ان يصلح الله تعالىبه بين فئتين من المسلمين)
Dalam riwayat lain dikeluarkan oleh Bukhari dari ibnu Umar radiyallahu anhuma beliau berkata nabi saw bersabda :
هما ريحناتاي من الدنيا
Maksudnya Hasan dan Husain
Dan dikeluarkan oleh Atturmudzi dan Hakim dari Said Al Khudri Radiyallahu Anhu dia berkata Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain adalah pemimpin para syabab ahli surga"
Dan karena dia adalah termasuk dari daging beliau maka mencintainya sama halnya mencintai Rasulullah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Assyaikhani dari Al Barra' Radiyalahu Anhu dia berkata : aku melihat Rasulullah saw dan Hasan berada di pundaknya kemudian Rasulullah berkata : ya allah sungguh aku sangat mencintainya maka cintailah dia"
Dan di keluarkan oleh Atturmudzi dari Anas bin malik radiyallahu anhu dia berkata Rasulullah pernah ditanya siapakah ahlul bait yang sangat dia cintai beliau berkata Hasan dan Husain
Dan diantara keutamaan beliau juga adalah keduanya mirip dengan Rasulullah maka tak heran banyak para sahabat yang apabila melihat Hasan maka dia teringat akan Rasulullah contohnya sahabat abu Bakar tatkala melihat Hasan dia mengatakan bahwa dia lebih mirip dengan Rasulullah daripada ayahnya Ali bin abi thalib dan Ali pun tertawa. Diriwayatkan dari Hani bin Hani dari Ali bin abi thalib beliau berkata bahwa Hasan bin Ali menyerupai Rasulullah dari antara dada sampai kekepala dan Husain menyerupai Rasulullah dari antara dada sampai kebawah. Akan tetapi hadits ini sanadnya dhaif tapi dari jalur lain yang di riwayatkan oleh ibnu asakir dalam tarikhnya dari jalan hani bin hani dari Ali bin abi thalib dengan hadits yang sama dan juga di riwayatkan oleh Atturmudzi beliau mengatakan haditsnya Hasan shahih gharib . dan didalam Tarikh hulafa' imam Suyuti menyebutkan bahwa telah di riwayatkan dari Bukhari dari anas bin malik radiallahu anhu dia berkata " bahwa tak ada satupun yang menyerupai Rasulullah kecuali Hasan bin Ali dan masih banyak lagi hadits yang tak terhitung jumlahnya yang menyebutkan kemuliyaan cucu Rasulullah ini.
Oleh karena itu di dalam buku Alu Bait Ahfadi Nabi menyebutkan beberapa keistimewaan yang di miliki oleh Hasan bin Ali dan kami akan menyebutklan secara ringkas disini yang pertama bahwa beliau adalah dari ahlul bait Rasulullah dan keduanya di cintai oleh allah dan rasulnya dan diapun mencintai allah dan rasulnya . kedua bahwa keduanya adalah penduduk syurga dan diharamkan atasnya neraka. Ketiga nabi saw memuliakan keduanya ke empat keduanya adalah cucu Rasulullah.

Kekhalifaan Hasan bin Ali Radiyallahu taala anhuma
Para muarrikhin telah sepakat bahwa pengangkatan Hasan bin Ali bin Abi thAlib radiyallahu taala anhuma setelah imam Ali Radiyallahu Taala Anhu di tikam oleh Abdurrahman ibnu muljam Al muradiy. tatkala jenazah beliau di shalatkan dan di kebumikan di daerah Dar al imarah di Kufah sebagai mana pendapat yang shahih lalu tiba tiba datanglah Qweis bin Saad bin Ubadah membaiat beliau lalu qweis berkata ulurkan tanganmu aku akan membaiatmu dengan al quran dan sunnah nabinya. Pada waktu itu Hasan terdiam, lalu manusiapun ikut membaiat beliau ibnu Katsir mengatakan pada hari itu (pembaiatan Hasan) adalah hari wafatnya imam Ali radiyallahu taala anhu, dan dia menginggal pada hari dia ditikam, bertepatan pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ke empat puluh, dalam riwayat lain dinyatakan bahwa beliau wafat dua hari setelah penusukan, dalam riwyat lain beliau meninggal pada sepuluh akhir di bulan rhamadhan setelah pembaiatan tersebut imam Hasan bin Ali radiyalahu taala anhu menghadapi situasi yang cukup sulit lebih sulit dibandingkan menahan rasa sakit atas terbunuhnya ayahnya Ali bin abi thalib karena pada masa tersebut api fitnah makin meluas dan tak terbendungkan, dari wilayah Syam misalnya masih menuntut darah ustman Radiyallahu Taala Anhu dan diantara mereka ada juga yang masih belum menerima penganngkatan Hasan radiyallahu anhu, bahkan dalam riwayat disebutkan tatkala imam Ali meninggal dunia mereka langsung membaiat Muawiyah. sebenarnya hebusan api fitnah ini terus begejolak selama orang orang dari kedua golongan tersebut merasa dirinyalah yang paling benar yang saya maksud kedua golongan disini adalah golongan Syiah dan Annashiba begitu pula dengan golongan yang ke tiga yaitu Khawarij sebagi sumber permasalahan yang selalu memanas manasi dan memperkeruh situasi karena melihat situasi tersebut semakin parah dan imam Husain sangat membenci tafarruq antara ummat maka imam Husain radiyallahu anhu mengirim surat kepada Muawiyah radiyallahu anhu untuk mengadakan ishlah secara khusus diantara dua kelompok yang bertikai akan tetapi dengan adanya hal tersebut didalam tubuh kelompok Muawiyah makin menambah lebar perpecahan dan ikhtilaf diantara mereka, maka demi mencari keredhaan allah swt dengan segala kerendahan hati maka imam Husain Radiyallahu Taala Anhu menyerhkan kekhalifaan kepada Muawiyah Radiyallahu Taala Anhu demi salah satu tujuan agar ummat islam pada waktu itu bersatu dan untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah yang tidak di inginkan maka tahun tersebut dikenal dengan tahun jamaah ( a'm jamaah) . Dan apa yang dilakukan oleh imam Hasan tersebut di dalam kacamata ahlusunnah wal jamaah adalah keputusan yang sangat bijak dan merupakan fadhilah sangat tinggi dimiliki oleh seorang pemimpin sebagai mana dikatakan oleh imam ibnu taimiyyah rahimahullah ( sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Hasan padawaktu itu menrupakan sebesar besar keutamaan yang dimilikinya dan merupakan akhlak yang sangat terpuji yang telah di beritakan Rasulullah kepadanya, walaupun qital wajib atau boleh pada wktu itu akan tetapi dia tidak membelok dari nabi dengan meninggalkan kewajiban atau sesuatu yang boleh atasnya ) begitu juga dengan ulama' hadits mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh imam Hasan tersebut tidak keluar dari apa yang telah di ramalkan oleh Rasulullah saw bahwa imam Hasan akan mengishlah dua golongan yang bertikai dian tara kaum muslimin, seperti hadis yang di riwayatkan oleh imam Bukhari dari abu Bakar Astaqafi bahwa Rasulullah saw naik keatas mimbar pada suatu hari dan beliau mendudukkan Hasan bin Ali disampingnya kemudian dia melihat kemanusia sekAli dan ke Hasan sekAli kemudian Rasulullah saw berkata " wahai manusia sesungguhnya anakku ini akan menjadi pengishlah antara dua kelompok yang besar dari kaum muslimin" . Dan ulama' mengatakan bahwa bahwa Hasan radiyallahu anhu termasuk kedalam khulafa' arrasyidin yang di ebutan ol Rasulullah bahwa rululla aw bersbda " kekhlifaan sesudahku tiga puluh tahun kemdian setelahnya adala raja dan sempurnahnya tiga puluh pada waktu kekhAlifaan Hasan radiyallahu anhu dan dia menyerahkan kekhalifaan pada tahun ke empat puluh satu bertepatan dengan tiga puluh tahun setelah nabi meninggal dan kekhAlifaan Hasan selama enam bulan.
Di dalam buku Tarikh Alkhulafa' imam Suyuti menceritakan bahwa setelah wafatnya imam Ali kemudian Hasan pun di baiat oleh ahlu kufah dan masa kekhalifaannya selama enam bulan satu hari. kemudian setelah itu beliau memberikan kekhalifaannya kepada Muawiyah Radiyallahu Taala Anhu ia meminta konsekwensi bahwa penduduk madinah,dan hijaz dan iraq tidak meminta lagi sesuatu yang mereka tuntut pada waktu ayanhnya masih hidup dan menyelesaikan semua utang utangnya. Dan Muawiyah menerima hal tersebut dan akhirnya terishlahlah kaum muslimin pada waktu itu, sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah dan ini merupakan tanda kenabian beliau . dan akhirnya imam Hasan membaiat Muawiyah yang akhirnya disebut dengan A'm jamaah kemudian imam Hasan memerintahkan kepada semua kaum muslimin untuk membaiat Muawiyah kecuali qweis bin saad enggan untuk membaiat Muawiyah kemudian diapun beruzlah dan tidak mentaatinya dan beruzlahlah orang orang yang sependapat dengannya

Meninggalnya imam Hasan radiyallahu taala anhu
Diceritakan oleh imam suyuti bahwa Hasan radiyallahu anhu meninggal di madinah dan meninggalnya karena di racun oleh istrinya ja'dah binti asy'ats bin qweis atas rekayasa Yazid bin Muawiyah untuk meracuninya dia memerintahkan untuk menikahinya kemudian diapun melakukan perbuatan tersebut. Tatkala imam Hasan meninggal maka diapun kembali ke Yazid untuk meminta ganjaran yang telah di janjikannya lalu Yazid pun berkata : kami tidak meridhaimu terhadap Hasan, apakah kami akan meridhaimu terhadap diri kami. Imam Hasan meninggal pada tahun empat puluh sembilan, riwayat lain mengatakan pada hari kamis rabiul awwal tahun ke limapuluh , riwayat lain mengatakan tahun lima puluh , dalam riwayat dikatakan tatkala Hasan mendekati ajalnya datanglah Husain menanyakan siapa orang yang meracuninya dan ingin membunuhnya akan tetapi imam Hasan Radiyallahu Taala Anhu melarangnnya


Jumat, 22 Januari 2010

Al muhkam Dan Al mutasyabih Dalam Al-Quran. Bag 2

Perbedaan pendapat pada pengertian mutasyabih

setelah kita mengetahui tentang ta'rif al muhkam dan al mutasyabih begitu pula dengan pembagiannya baik itu secara umum maupun secara khusus, disini kami akan mencoba mengangkat sebuah permasalahan yang mana penulis melihat merupakan titik awal dari sebuah perbedaan antara para ulama-ulama kita dan firqah-firqah yang lain, yang dari sini jugalah nantinya bermunculanlah istilah istilah seperti masyabbihah atau mujassimah atau juga saling tuduh antara yang mengatakan bahwa inilah takwil yang benar dan inilah takwil yang salah oleh karenanya Manaul Qatthan membuat judul khusus didalam bukunya tentang qadiyah ini menurut beliau Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat : “Warra sikhuna fil ‘ilmi”. Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya ialah “Yaquuluun” , dengan "wawu", diperlakukan sebagai huruf ‘isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz ” Wama ya’lamu ta’wilahu illAllahu” ataukah ia ma’tuf, sedag lafaz “wayaquluna” menjadi hal yang waqaf-nya pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi”.


Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’ab, Ibn Masud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:”wama ya’lamu ta’wilahu illAllahu wayaqulur rasikhuna fil‘ilmi amannabihi” Dan dengan qiraat Ibn Masud :“wainna ta’wiluhu illa ‘indAllahi warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” ayat ini menunjukkan terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatrinya sebagai orang-orang yang hatinya ‘condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah” dan juga “Dari Aisyah ia berkata;“Rasulullah SAW membaca ayat ini ‘huwalladzi anzalaalaikal kitab’sampai dengan ‘ulul albab’ kemudian berkata ‘apa bila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah.maka waspadalah terhadap mereka”


Pendapat kedua (yang menyatakan ‘wawu’ sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : ’saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan aya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.Pendapat ini dipilih juga oleh an Nawawi, dalam syarh muslimnya ia menyatakan : ‘inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru kepada hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.


Penjelasan


Setelah kita mengetahui inti dari permasalahan maka disini kami akan mencoba untuk mengkaji dari kedua pendapat tersebut.



pendapat yang pertama apabila kita teliti maka kita akan menemukan bahwa pendapat ini lebih menekankan agar manusia untuk tawaqquf tatkala ia di hadapkan oleh permasalahan-permasalahan ayat yang terindikasi mutasyabihat dan lebih menyerahkan ma’nanya hanya kepada Allah, dan pendapat ini kebanyakan di pegang oleh para salaf dan para muhadditsin, bahkan diantara mereka ada yang takut untuk membicarakannya apalagi mempertanyakannya sebagai mana diriwayatkan dari Imam Malik tatkalah beliau ditanya ayat tentang istawa’ beliaupun langsung diam sampai ketiga kalinya beliau ditanya Imam Malik pun gemetar, lalu iapun menjawab dengan jawaban yang cukup mutawatir di telinga kita ‘istiwa’ ma’lum wa kaifa majhul wal imanu bihi wajibun wa assualu anhu bidah. Kata beliau istiwa itu telah diketahui dan bagai mana dia istiwa itu tidak kita ketahui dan beriman terhadapnya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.dan belaiaupun langsung mengusir orang tersebut dari majlisnya.
Pendapat yang kedua yang menjadikan wawu sebagai huruf ‘ataf, pendapat ini lebih condong untuk mengatakan bahwa selain Allah swt manusia juga mampu mengetahui takwil dari ayat-ayat yang mutasyabihat tapi tidak semua yang mampu untuk mengetahuinya kecuali arrasikhuna fil ilm saja yang mampu untuk menakwilkan ayat tersebut, sekarang yang menjadi persoalan siapakah arrasikhuna fil ilmi yang di sebutkan oleh ayat itu? dan yang kedua apa yang dimaksud takwil dalam ayat ini? Apakah takwil Allah dan takwil manusia sama? Penulis dalam hal ini tidak akan menjawab pertanyaan tadi tetapi kami disini akan menjelaskan pendapat ulama didalam menyikapi pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama tentang arrasikhuna fil ilmi ulama’ terbagi didalam berapa pendapat diantara mereka mengklaim bahwa mereka adalah arrasikhuna fil ilmi, Pendapat yang pertama yaitu datangnya dari kalangan Filosof mereka membagi manusia menjadi tiga bagian yang pertama orang- orang yang bukan ahli takwil sama sekali, mereka itulah golongan (retorik) atau orang awam mereka adalah bagiaan terbesar manusia karena itu tak seorangpun yang berakal sehat yang bias di kecualikan dari kemampuan menerima pembuktian retorik ini . golongan yang kedua golongan yang ahli interpretasi dialektik, mereka ini golongan dialektik, yang di maksud filosof disini adalah para mutakallimin. Golongan yang ketiga yaitu orang orang yang ahli dalam bidang takwil yakini, kelompok ini adalah orang-orang yang ahli dalam bidang metode demonstratif, baik itu pengambilan ilmunya secara alamiyah ataupun melalui belajar.
Pendapat yang kedua dari golongan mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan sebagian dari Asya’irah mereka beranggapan bahwa mereka dari golongan arrasikhun fil ilmi. sebenarnya golongan ini terpaksa untuk menjadi arrasikuna fil ilmi! kenapa kami berkata seperti demikian, karena diantara argument mereka untuk mentakwil ayat yang sifatnya mutasybihat bertendensikan adanya ketakutan terjadi pen-tasybih-an atau pen-tajsim-an Allah dengan makhluknya apabila ayat ini di artikan secara dzahir. Berangkat dari adanya kehkawatiran inilah maka mereka mencoba untuk mencari makna-makna yang menurut anggapan mereka tidak jatuh kepada pen-tajsim-an.
Pendapat yang ketiga datang dari golongan Hanabilah. mereka membagi manusia kedalam tiga bagian dalam konteks pemahaman terhadap ayat ke 7 surah ali imran. kelompok yang pertama : mereka yang mengatakan bahwa ayat seperti (tangan Allah diatas tang mereka) mereka mengatakan tangan itu sama dengan tangan makhluknya dan penyebab mereka mengatakan seperti demikian, mereka berkata bahwa Allah berbicara dengan hambanya dengan sesuatu yang diketahuinya sementara pengetahuan manusia hanya didapatkan dengan apa yang Nampak di alam realita, mereka inilah golongan al mumastilah. Golongan kedua adalah golongan yang mengatakan bahwa ayat-ayat diatas merupakan tamstil oleh karenanya ayat tersebut tidak diartikan secara zahir akan tetapi diartikan secara ma’nawi, seperti al yad berarti nikmat dan juga bermakna qudrah. Kelompok yang ketiga memaknainya dengan arti hakikatnya tetapi tidak menyamakannya dengan makhluk, seperti penetapan tangan Allah secara hakikat akan tetapi tangannya tidak serupa dengan tangan manusia, karena penetapan Al-Yadain itu Allah sendiri yang menetapkan bagi dirinya karena dialah yang maha tahu akan dirinya dan dia tidak serupa dengan makhluknya “ dia tidak serupa dengan sesuatu dan dia maha mendengar lagi maha melihat” pendapat hanabilah ini hampir mirip dengan pendapat para filosof persamaannya adalah keduanya sepakat bahwa makna ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat harus diartikan secar zahir seperti ayat tentang tangan Allah atau apakah Allah akan dilihat di hari kiamat atau ayat ayat tentang turunnya Allah pada sepertiga malam. Menururt kedua kelompok ini makna teks harus diartikan sesuai dengan kemauan syariat, dan masyarakat awam dilarang bertanya tantang permasalahan ini kita hanya cukup menjawab ”tidak ada sesuatupun yang menyerupai dengan dia dan dialah maha mendengar lagi maha melihat” Dan kedua kelompok ini juga sepakat didalam menanggapi argument-argumen takwil yang di sebarkan oleh mutakallimin, kedua kelompok ini beranggapan bahwa yang di maksud oleh ayat “ adapun yang hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah” ayat ini ditujukan kepada para mutakallimin. ibnu rusyd memberikan argumen tentang ayat ini bahwa hal yang paling keras yang dilakukan oleh para mutakallimin adalah menakwilkan ayat-ayat yang menurut dugaan mereka makna yang di maksud bukan pada makna lahiriyah, mereka mengatakan bahwa takwil inilah yang dimaksud oleh ayat itu, padahal ayat tersebut Allah mengungkapkannya dalam bentuk mutasyabihat.


Mengkompromikan antara kedua pendapat dalam memahami makna takwil

Dengan merujuk kepada makna takwil (at ta’wil) maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat diatas itu tidak terdapat pertentangan,karena lafaz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna; Yang Pertama : Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.yang Kedua Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami. Dan yang Ketiga Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifatNya ialah hakikat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifat-sifatNya. Dan takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah;“Rasulullah SAW mengucapkan didlaam ruku’ dan sujudnya “subhanaka Allahumma rabbana wabihamdika. Allahumaghfirli” bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an yakni firman Allah ” fasabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu,innahukanatawwaba.”(anNasr:3)
jadi oleh karena itu golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz “wama ya’lamu ta’wilahu illAllah” dan menjadikan ” warrasikhuna fil ‘ilmi” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensiNya kaifiyat nama dan sifatNya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.
Sebaliknya golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘ataf, bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua yakni tafsir, sebagaimana dikemukakan mujahid, seorang tokoh ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini as Sauri berkata : “jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Jika dikatakan, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah mengetahui tafsirannya.Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.


Takwil yang tercela


Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama, memalingkan lafaz dengan makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin, dengan tujuan untuk labih memahasucikan Allah swt dari keserupaanNya dengan mahluk seperti mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka kedalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya ketika mentakwilkan ‘tangan’ (al yad) dengan kekuasaan (al qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan ‘tangan’ bagi Khalik mengingat mahluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafaz al yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkannya dengan al qudrah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan,atau al qudrah pula. Apa bila qudrah yang mereka tetapkan hak dan mungkin. Maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya jika penetapan ‘tangan’ dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan ‘kekuasaan’ juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap para panakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafaz-lafaz yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.
Akan tetapi ada sebuah syubhat yang sering kita mendengarkannya sebuah perkataan yang tak asing lagi di telinga kita “ tariqatul salaf aslam wa tariqatu al khalaf a’lam wa ahkam”jalan yang di tempuh oleh para Ulama’salaf itu lebih selamat dan jalan ulama’ khalaf itu lebih mengetahui dan lebih sempurnah, pandapat ini sebenarnya sangatlah absurd (baca: menggelikan) dan didalamnya terdapat kontradiksi, karena yang kita ketahui bahwa jalan yang ditempuh oleh ulama salaf itu lebih selamat dan lebih mengetahui dan lebih ahkam, karena mereka adalah ahlul ilmu dan ahlul hikmah, karena tak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang datang ilmu Allah yang datang kepada kita melalui wasilah dan karena keutamaan mereka , dan begitupun hikmah yang Allah berikan kepada kita itu merupakan fadilah dan hikmah mereka. Dan inilah yang disebut keselamatan, dan konsukwensi keselamatan adalah ilmu dan hikmah, bagaimana seseorang bisa selamat kalau ia tidak mempunyai ilmu, anggaplah kalau kita menganalogikan seseorang yang ingin ke kairo maka konsukwensi ia bisa selamat sampai ke kairo ia harus mengetahui jalanan ke kairo, mana mungkin orang yang tidak tahu jalan tujuan ia bisa sampai ke tujuannya. Dan juga yang penting adalah seseorang tidak mendapatkan keselamatan kecuali mengetahui hikmah setelah mendapatkan ilmu, karena seseorang yang berilmu tapi ia tidak menempu jalan kebenaran, maka orang tersebut bukanlah seorang yang hakim. Oleh karenanya kita tidak mungkin mendapatkan keselamatan tampa adanya ilmu dan hikmah secara mutlak. Jadi tatkalah kita mengatakan “thariqatus salaf aslam” maka itu termasuk didalamnya ahkam dan a‘lam. Tapi bisa saja timbul pernyataan bahwa yang dimaksud kaidah itu adalah jalan salaf pasti selamat dan jalan khalaf belum tentu. Maka kami menjawab, bahwa tatkalah seseorang telah mendapatkan ilmu dan hikmah maka Allah akan memudahkan hatinya untuk selamat.


Ayat mutasyabih dalam Al-Quran


Di dalam al itqan imam suyuti memberikan fasal untuk hal ini beliau membaginya menjadi dua yaitu : al mutasyabih di dalam ayat sifat, seperti surah (tahah ayat 5), (al-aqashas ayat 88) (ar-rahman ayat27)( tahah ayat 39),(al fatah ayat10). Dan yang kedua mutasyabih di awal surah seperti seperti ( alif lam mim, alif lam shad, dan alif lam raa,atau nuun.)


Epilog


Pembahasan ini sebenarnya belum final masih banyak lagi pembahasan-pembahasan yang menyangkut ayat ali imran ayat 7 ini, karena sinyal dari ayat ini bukan hanya di dapatkan di kawasan tafsir saja akan tetapi di kawasan aqidah pun para ulama kita ramai mendiskusikannya,dan kami meminta aspirasi dari teman-teman dalam kritik dan masukan.


Daftar pustaka :


1. Mabahist fi Ulumil Quran oleh Mannaul Qattan Maktabah Wahbah Kairo
2. At Tafsir Al Kabir oleh Imam Fakhruddin Arrazi jilid 4 maktabah taufiqiyyah kairo
3. Syarah Muqaddimah fi ushul tafsir oleh Syikh Utsaimin Dar ibnu jauizi Kairo
4. mendamaikan agama dan filsafat oleh ibnu rusyd. Nuansa aksara yogyakarta.



Selasa, 19 Januari 2010

Al muhkam Dan Al mutasyabih Dalam Al-Quran. Bag 1

Pendahuluan
Al-Quran yang turun dari tempat yang paling tertinggi dan dibawah langsung oleh malaikat suci (baca:jibril), merupakan mu’jizat yang tak ada duanya di alam ini dan akan terus selalu unggul dari setiap yang diunggulkan dan ini akan terus berlangsung sampai hari yang di tentukan, dan juga Allah swt. telah menjamin Al-Quran ini dari tangan orang-orang yang ingin merusaknya (kamilah yang menurunkan Al-Quran dan kami pulalah yang menjaganya).
Karena ia yang unik dan juga selalu sesuai dengan zaman maka Al-Quran akan terus selalu di kaji sesuai dengan perkembangan zaman, dan dia tidak akan bertentangan dengan zaman, dan Al-Quran tidak pernah di warnai oleh zaman akan tetapi Al-Quranlah yang mewarnai zaman, karena dengan Al-Quranlah zaman itu berkembang dan dengan Al-Quran pulalah kita bisa membuat peradaban dan dengan Al-Quran tersingkaplah ilmu-ilmu Allah yang ada di alam ini, oleh karenanya salah satu penyebab kemunduran islam di zaman ini karena mereka jauh dari Al-Qurannya dan lebih bangga untuk membeo kepada barat. dan juga terkadang ummat islam tidak mau mengaca dengan para pendahulunya yang dimana telah membuat peradaban yang besar yang ditulis dengan tinta emas dengan bimbingan Al-Quran.
oleh karena itu sebagai mahasiswa islam seyogianya terus mengkaji kandungan isi dari Al-Quran dan juga meneliti permasalahan-permasalahan yang sudah atau yang belum di kaji oleh para ulama kita yang terdahulu, karena pembahasan yang telah mereka kaji belum final. Dan jangan ada kata taqlid selama kita ingin mencari kebenaran. Karenanya pada kesempatan ini kami akan membahas salah satu permasalahan yang cukup penting yang terdapat didalam pengkajian Al-Quran. terkhususnya lagi dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Quran yang dalam hal ini terfokus pada pembahasan ayat-ayat yang bersifat muhkam dan ayat ayat yang bersifat mutasyabih.

Pembahasan.

Secara histori maudu’ ini bermuara tatkala Allah menurunkan surah (ali imran ayat 7) yang disini natinya terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’-ulama tafsir di dalam menjatuhkan vonis yang mana termasuk ayat ayat yang telah terdeteksi muhkam dan mana ayat yang mutasyabih. Berangkat dari sini jugalah mengapa ulama’ tafsir tatkala ingin memulai pembahasan ini mereka memulainya dengan surah ali imran. Ayat tersebut berbunyi yang artinya : Dia lah yang menurunkan alkitab (Al-Quran) kepada kamu diantarnya ada ayat-ayat yang muhkamat dan itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain mutasyabihat dan adapun orang yang hatinya condong pada kesesatan maka mereka mengikuti sebahagian ayat ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “kami beriman pada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sis tuhan kami” dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal.”
Di sisi lain imam suyuti meriwayatkan ada beberapa pandangan di dalam pembagian ini ada yang yang berasumsi bahwa keseluruhan dari ayat-ayat Al-Quran adalah muhkam dan ada juga yang berpandangan kebalikan dari pendapat pertama bahwa keseluruhan dari dari Al-Quran adalah mutasyabih. Pendapat yang pertama mereka mengambil dasar pijakan dengan firman Allah dalam surah (hud ayat 1) dan juga pada surah (yunus ayat 1) dan pendapat yang kedua mengambil dalil dari surah (azzumar ayat 23). kalau kita ingin melihat lebih lanjut sebenarnya masalah antara kedua pendapat ini tidaklah begitu serius, dan kita tidak perlu merajihkan salah satu pendapat sebagai mana yang diriwayatkan oleh imam suyuti dari ibnu habib an-nisaburi, karena kedua pembagian yang di singgung oleh an-nisaburi tersebut memang terdapat di dalam Al-Quran dan diantara ulama ada juga yang telah membaginya, dan penulispun merasa bahwa ibnu habib an-nisaburi ingin mengatakan seperti demikian, hanya ibnu habib an-nisaburi mempunyai sangkaan lain bahwa kedua dalil yang disebutkan oleh kedua pendapat diatas bukan menunjukkan kepada sifat ayat Al-Quran secara umum akan tetapi Al-Quran secara khusus.
Dikalangan ulama yang telah membaginya menjadi tiga adakah Syaik utsaimin didalam sayrah ushul at tafsir membagi Al-Quran dari sudut pandang al muhkam dan al mutasyabih menjadi tiga bagian, yang pertama : ihkam al am, dimana Al-Quran di sifati secara umum.dalilnya dalam surah (hud ayat 1) yang arti bebasnya “ inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi serta di jelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang maha bijaksana lagi mahatahu. Yang kedua: at tasyabuh al am dalilnya surah (azzumar ayat 23) yang arti bebasnya Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang. Kemudian pembagian yang ketiga terakhir adalah ihkam al khash bi ba’dhi hi wa at tasyabuh bi ba’dhi hi contohnya surah (ali imran ayat 7) sebagai mana telah kami jelaskan sebelumnya . Ini senada dengan yang dikatakan oleh imam Fakhruddin Arrazi dalam Tafsir Al kabirnya beliau mengatakan bahwa “ketahuilah bahwa di dalam Al-Quran ada ayat yang menjukkan muhkam secara umumnya dan mutasyabih secara umumnya dan ada juga ayat yang sebahagianya muhkam dan sebahagiannya mutasyabih”. Adapun yang dimaksud dengan muhkam secara kulli adalah semua perkataan yang terdapat didalam Al-Quran itu adalah al-hak dan juga ke fasihan dari semua lafadz yang ada didalamnya dan ma’nanya selalu mengandung kebenaran dan dari keseluruhan ucapan dan perkataan yang di dapatkan maka Al-Quran tidak akan ada yang menandinginya. Adapun at tasyabuh secara umum atau kulli sebagaimana yang di sebutkan dala Al-Quran surah (azzumar ayat 23) bahwa kandungan dari Al-Quran itu selalu berserikat di dalam kebenaran dan selalu membenarkan satu dengan lainnya, sebagai mana ayat yang artinya “ sekiranya Al-Quran ini bukan dari sisi Allah maka akan di dapati perbedaan yang banyak”

Definisi muhkam dan mutasyabih

Kalau kita kembali ke ayat di atas surah (ali imran ayat 7) maka Dari ayat ini telah cukup jelas pengkhabarkan Allah kepada kita tentang pembagian sifat kalam tersebut menjadi dua yang pertama ayat ayat yang muhkam dan yang kedua ayat ayat yang mutasyabih, sebelum kita masuk lebih dalam lagi perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari kedua istilah tersebut diatas.
Kata muhkam Dari segi bahasa Menurut penulis Manna’ul Qatthan dalam bukunya Mabahist Fi Ulumil quran mengatakan bahwa ia berasal dari kata-kata : “hakamtud dabbata wa ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan : “hakamtus safiha wa ahkamtuhu” artinya saya memegang kedua tangan orang dungu, juga dikatakan : ” hakamtud dabbata wa ahkamtuha” artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Sedangkan Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman dalam surah ( al Baqarah: 25). Maksudnya sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan.

Muhkam dan mutasyabih secara khusus

Sebagai mana kami katakan diatas bahwa Al-Quran disifati dengan muhkam secara kulli dan dia juga mutasyabih secara umum dan juga kami katakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat juga ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat, imam suyuti didalam kitabnya al itqan menyebutkan kurang lebih sepuluh pendapat ulama’ tentang perbedaan ini. Diantara pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa, Al-Muhkam adalah apa yang di ketahui maksudnya baik itu secara takwil ataupun secara dzahir, dan mutasyabih apa yang hanya Allah mengetahuinya seperti hari pembalasan keluarnya dajjal,dan huruf muqathaah di awal-awal surah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang di maksud dengan Al-Muhkam adalah apa yang terang atau jelas ma’nanya dan mutasyabih sebaliknya . Manaul Qatthan dalam bukunya menyebutkan juga perbedaan tersebut diantaranya Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerluan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian. Ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain . Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haramm hudud (hukuman) kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifatNya, antara lain : dalam surah : (Taha : 5), (al Qasas: 88), ( al fath: 10), ( al An’am: 18), (al Fath: 22), (al Fath : 6), (al Bayyinah: 8),(Aliimran:31) Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk didalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.
Dari sini kita melihat dengan banyaknya pengertian yang di berikan oleh ulama-ulama kita ada kemungkinan sulit untuk mentahdid tarif dari muhkam dan mutasyabih tersebut. tetapi kalau kita melihat ta’rif yang digunakan kebanyakan dari mereka maka kebanyakan dari para ulama’ kita mendefinisikan ayat al-muhkam itu sebagai sesuatu yang mudah difahami oleh akal dan sifatnya lebih menekankan kepada pengamalan jasmani. sementara ayat-ayat al mutasyabih ulama’ lebih banyak bertendensikan pada hal-hal yang sulit bagi akal untuk menjangkaunya atau memahaminya atau dengan kata lain hal-hal yang sifatnya metafisika dan abstrak yang dimana arrasikhuna fi ilmi mengatakan kami beriman saja. Maka dari ini untuk sementara kami berkesimpulan bahwa perbedaan antara muhkam dan mutasyabih selain perbedaan dari segi lughawiyyah maksud kami adalah penamaan atau ( tasmiyah) juga perbedaan kepada sesuatu yang dituntut untuk diamalkan dan mudah difahami dan inilah yang kami maksud dengan muhkam. Dengan sesuatu yang tidak mudah untuk digapai maksudnya oleh akal dan kita dituntut cukup untuk menyakininya maka inilah yang kami maksud dengan ayat yang mutasyabih. sebagai mana yang dikatakan oleh imam ibnu abi hatim telah diriwayatkan dari akramah dan qatadah dan selain dari keduanya : bahwa muhkam apa yang di amalkan dam mutasyabih apa yang dituntut untuk di imani dan tidak diamalkan