Jumat, 22 Januari 2010

Al muhkam Dan Al mutasyabih Dalam Al-Quran. Bag 2

Perbedaan pendapat pada pengertian mutasyabih

setelah kita mengetahui tentang ta'rif al muhkam dan al mutasyabih begitu pula dengan pembagiannya baik itu secara umum maupun secara khusus, disini kami akan mencoba mengangkat sebuah permasalahan yang mana penulis melihat merupakan titik awal dari sebuah perbedaan antara para ulama-ulama kita dan firqah-firqah yang lain, yang dari sini jugalah nantinya bermunculanlah istilah istilah seperti masyabbihah atau mujassimah atau juga saling tuduh antara yang mengatakan bahwa inilah takwil yang benar dan inilah takwil yang salah oleh karenanya Manaul Qatthan membuat judul khusus didalam bukunya tentang qadiyah ini menurut beliau Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat : “Warra sikhuna fil ‘ilmi”. Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya ialah “Yaquuluun” , dengan "wawu", diperlakukan sebagai huruf ‘isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz ” Wama ya’lamu ta’wilahu illAllahu” ataukah ia ma’tuf, sedag lafaz “wayaquluna” menjadi hal yang waqaf-nya pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi”.


Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’ab, Ibn Masud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:”wama ya’lamu ta’wilahu illAllahu wayaqulur rasikhuna fil‘ilmi amannabihi” Dan dengan qiraat Ibn Masud :“wainna ta’wiluhu illa ‘indAllahi warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” ayat ini menunjukkan terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatrinya sebagai orang-orang yang hatinya ‘condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah” dan juga “Dari Aisyah ia berkata;“Rasulullah SAW membaca ayat ini ‘huwalladzi anzalaalaikal kitab’sampai dengan ‘ulul albab’ kemudian berkata ‘apa bila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah.maka waspadalah terhadap mereka”


Pendapat kedua (yang menyatakan ‘wawu’ sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : ’saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan aya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.Pendapat ini dipilih juga oleh an Nawawi, dalam syarh muslimnya ia menyatakan : ‘inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru kepada hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.


Penjelasan


Setelah kita mengetahui inti dari permasalahan maka disini kami akan mencoba untuk mengkaji dari kedua pendapat tersebut.



pendapat yang pertama apabila kita teliti maka kita akan menemukan bahwa pendapat ini lebih menekankan agar manusia untuk tawaqquf tatkala ia di hadapkan oleh permasalahan-permasalahan ayat yang terindikasi mutasyabihat dan lebih menyerahkan ma’nanya hanya kepada Allah, dan pendapat ini kebanyakan di pegang oleh para salaf dan para muhadditsin, bahkan diantara mereka ada yang takut untuk membicarakannya apalagi mempertanyakannya sebagai mana diriwayatkan dari Imam Malik tatkalah beliau ditanya ayat tentang istawa’ beliaupun langsung diam sampai ketiga kalinya beliau ditanya Imam Malik pun gemetar, lalu iapun menjawab dengan jawaban yang cukup mutawatir di telinga kita ‘istiwa’ ma’lum wa kaifa majhul wal imanu bihi wajibun wa assualu anhu bidah. Kata beliau istiwa itu telah diketahui dan bagai mana dia istiwa itu tidak kita ketahui dan beriman terhadapnya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.dan belaiaupun langsung mengusir orang tersebut dari majlisnya.
Pendapat yang kedua yang menjadikan wawu sebagai huruf ‘ataf, pendapat ini lebih condong untuk mengatakan bahwa selain Allah swt manusia juga mampu mengetahui takwil dari ayat-ayat yang mutasyabihat tapi tidak semua yang mampu untuk mengetahuinya kecuali arrasikhuna fil ilm saja yang mampu untuk menakwilkan ayat tersebut, sekarang yang menjadi persoalan siapakah arrasikhuna fil ilmi yang di sebutkan oleh ayat itu? dan yang kedua apa yang dimaksud takwil dalam ayat ini? Apakah takwil Allah dan takwil manusia sama? Penulis dalam hal ini tidak akan menjawab pertanyaan tadi tetapi kami disini akan menjelaskan pendapat ulama didalam menyikapi pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama tentang arrasikhuna fil ilmi ulama’ terbagi didalam berapa pendapat diantara mereka mengklaim bahwa mereka adalah arrasikhuna fil ilmi, Pendapat yang pertama yaitu datangnya dari kalangan Filosof mereka membagi manusia menjadi tiga bagian yang pertama orang- orang yang bukan ahli takwil sama sekali, mereka itulah golongan (retorik) atau orang awam mereka adalah bagiaan terbesar manusia karena itu tak seorangpun yang berakal sehat yang bias di kecualikan dari kemampuan menerima pembuktian retorik ini . golongan yang kedua golongan yang ahli interpretasi dialektik, mereka ini golongan dialektik, yang di maksud filosof disini adalah para mutakallimin. Golongan yang ketiga yaitu orang orang yang ahli dalam bidang takwil yakini, kelompok ini adalah orang-orang yang ahli dalam bidang metode demonstratif, baik itu pengambilan ilmunya secara alamiyah ataupun melalui belajar.
Pendapat yang kedua dari golongan mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan sebagian dari Asya’irah mereka beranggapan bahwa mereka dari golongan arrasikhun fil ilmi. sebenarnya golongan ini terpaksa untuk menjadi arrasikuna fil ilmi! kenapa kami berkata seperti demikian, karena diantara argument mereka untuk mentakwil ayat yang sifatnya mutasybihat bertendensikan adanya ketakutan terjadi pen-tasybih-an atau pen-tajsim-an Allah dengan makhluknya apabila ayat ini di artikan secara dzahir. Berangkat dari adanya kehkawatiran inilah maka mereka mencoba untuk mencari makna-makna yang menurut anggapan mereka tidak jatuh kepada pen-tajsim-an.
Pendapat yang ketiga datang dari golongan Hanabilah. mereka membagi manusia kedalam tiga bagian dalam konteks pemahaman terhadap ayat ke 7 surah ali imran. kelompok yang pertama : mereka yang mengatakan bahwa ayat seperti (tangan Allah diatas tang mereka) mereka mengatakan tangan itu sama dengan tangan makhluknya dan penyebab mereka mengatakan seperti demikian, mereka berkata bahwa Allah berbicara dengan hambanya dengan sesuatu yang diketahuinya sementara pengetahuan manusia hanya didapatkan dengan apa yang Nampak di alam realita, mereka inilah golongan al mumastilah. Golongan kedua adalah golongan yang mengatakan bahwa ayat-ayat diatas merupakan tamstil oleh karenanya ayat tersebut tidak diartikan secara zahir akan tetapi diartikan secara ma’nawi, seperti al yad berarti nikmat dan juga bermakna qudrah. Kelompok yang ketiga memaknainya dengan arti hakikatnya tetapi tidak menyamakannya dengan makhluk, seperti penetapan tangan Allah secara hakikat akan tetapi tangannya tidak serupa dengan tangan manusia, karena penetapan Al-Yadain itu Allah sendiri yang menetapkan bagi dirinya karena dialah yang maha tahu akan dirinya dan dia tidak serupa dengan makhluknya “ dia tidak serupa dengan sesuatu dan dia maha mendengar lagi maha melihat” pendapat hanabilah ini hampir mirip dengan pendapat para filosof persamaannya adalah keduanya sepakat bahwa makna ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat harus diartikan secar zahir seperti ayat tentang tangan Allah atau apakah Allah akan dilihat di hari kiamat atau ayat ayat tentang turunnya Allah pada sepertiga malam. Menururt kedua kelompok ini makna teks harus diartikan sesuai dengan kemauan syariat, dan masyarakat awam dilarang bertanya tantang permasalahan ini kita hanya cukup menjawab ”tidak ada sesuatupun yang menyerupai dengan dia dan dialah maha mendengar lagi maha melihat” Dan kedua kelompok ini juga sepakat didalam menanggapi argument-argumen takwil yang di sebarkan oleh mutakallimin, kedua kelompok ini beranggapan bahwa yang di maksud oleh ayat “ adapun yang hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah” ayat ini ditujukan kepada para mutakallimin. ibnu rusyd memberikan argumen tentang ayat ini bahwa hal yang paling keras yang dilakukan oleh para mutakallimin adalah menakwilkan ayat-ayat yang menurut dugaan mereka makna yang di maksud bukan pada makna lahiriyah, mereka mengatakan bahwa takwil inilah yang dimaksud oleh ayat itu, padahal ayat tersebut Allah mengungkapkannya dalam bentuk mutasyabihat.


Mengkompromikan antara kedua pendapat dalam memahami makna takwil

Dengan merujuk kepada makna takwil (at ta’wil) maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat diatas itu tidak terdapat pertentangan,karena lafaz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna; Yang Pertama : Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.yang Kedua Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami. Dan yang Ketiga Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifatNya ialah hakikat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifat-sifatNya. Dan takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah;“Rasulullah SAW mengucapkan didlaam ruku’ dan sujudnya “subhanaka Allahumma rabbana wabihamdika. Allahumaghfirli” bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an yakni firman Allah ” fasabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu,innahukanatawwaba.”(anNasr:3)
jadi oleh karena itu golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz “wama ya’lamu ta’wilahu illAllah” dan menjadikan ” warrasikhuna fil ‘ilmi” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensiNya kaifiyat nama dan sifatNya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.
Sebaliknya golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘ataf, bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua yakni tafsir, sebagaimana dikemukakan mujahid, seorang tokoh ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini as Sauri berkata : “jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Jika dikatakan, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah mengetahui tafsirannya.Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.


Takwil yang tercela


Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama, memalingkan lafaz dengan makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin, dengan tujuan untuk labih memahasucikan Allah swt dari keserupaanNya dengan mahluk seperti mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka kedalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya ketika mentakwilkan ‘tangan’ (al yad) dengan kekuasaan (al qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan ‘tangan’ bagi Khalik mengingat mahluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafaz al yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkannya dengan al qudrah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan,atau al qudrah pula. Apa bila qudrah yang mereka tetapkan hak dan mungkin. Maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya jika penetapan ‘tangan’ dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan ‘kekuasaan’ juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap para panakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafaz-lafaz yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.
Akan tetapi ada sebuah syubhat yang sering kita mendengarkannya sebuah perkataan yang tak asing lagi di telinga kita “ tariqatul salaf aslam wa tariqatu al khalaf a’lam wa ahkam”jalan yang di tempuh oleh para Ulama’salaf itu lebih selamat dan jalan ulama’ khalaf itu lebih mengetahui dan lebih sempurnah, pandapat ini sebenarnya sangatlah absurd (baca: menggelikan) dan didalamnya terdapat kontradiksi, karena yang kita ketahui bahwa jalan yang ditempuh oleh ulama salaf itu lebih selamat dan lebih mengetahui dan lebih ahkam, karena mereka adalah ahlul ilmu dan ahlul hikmah, karena tak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang datang ilmu Allah yang datang kepada kita melalui wasilah dan karena keutamaan mereka , dan begitupun hikmah yang Allah berikan kepada kita itu merupakan fadilah dan hikmah mereka. Dan inilah yang disebut keselamatan, dan konsukwensi keselamatan adalah ilmu dan hikmah, bagaimana seseorang bisa selamat kalau ia tidak mempunyai ilmu, anggaplah kalau kita menganalogikan seseorang yang ingin ke kairo maka konsukwensi ia bisa selamat sampai ke kairo ia harus mengetahui jalanan ke kairo, mana mungkin orang yang tidak tahu jalan tujuan ia bisa sampai ke tujuannya. Dan juga yang penting adalah seseorang tidak mendapatkan keselamatan kecuali mengetahui hikmah setelah mendapatkan ilmu, karena seseorang yang berilmu tapi ia tidak menempu jalan kebenaran, maka orang tersebut bukanlah seorang yang hakim. Oleh karenanya kita tidak mungkin mendapatkan keselamatan tampa adanya ilmu dan hikmah secara mutlak. Jadi tatkalah kita mengatakan “thariqatus salaf aslam” maka itu termasuk didalamnya ahkam dan a‘lam. Tapi bisa saja timbul pernyataan bahwa yang dimaksud kaidah itu adalah jalan salaf pasti selamat dan jalan khalaf belum tentu. Maka kami menjawab, bahwa tatkalah seseorang telah mendapatkan ilmu dan hikmah maka Allah akan memudahkan hatinya untuk selamat.


Ayat mutasyabih dalam Al-Quran


Di dalam al itqan imam suyuti memberikan fasal untuk hal ini beliau membaginya menjadi dua yaitu : al mutasyabih di dalam ayat sifat, seperti surah (tahah ayat 5), (al-aqashas ayat 88) (ar-rahman ayat27)( tahah ayat 39),(al fatah ayat10). Dan yang kedua mutasyabih di awal surah seperti seperti ( alif lam mim, alif lam shad, dan alif lam raa,atau nuun.)


Epilog


Pembahasan ini sebenarnya belum final masih banyak lagi pembahasan-pembahasan yang menyangkut ayat ali imran ayat 7 ini, karena sinyal dari ayat ini bukan hanya di dapatkan di kawasan tafsir saja akan tetapi di kawasan aqidah pun para ulama kita ramai mendiskusikannya,dan kami meminta aspirasi dari teman-teman dalam kritik dan masukan.


Daftar pustaka :


1. Mabahist fi Ulumil Quran oleh Mannaul Qattan Maktabah Wahbah Kairo
2. At Tafsir Al Kabir oleh Imam Fakhruddin Arrazi jilid 4 maktabah taufiqiyyah kairo
3. Syarah Muqaddimah fi ushul tafsir oleh Syikh Utsaimin Dar ibnu jauizi Kairo
4. mendamaikan agama dan filsafat oleh ibnu rusyd. Nuansa aksara yogyakarta.