Jumat, 22 Januari 2010

Al muhkam Dan Al mutasyabih Dalam Al-Quran. Bag 2

Perbedaan pendapat pada pengertian mutasyabih

setelah kita mengetahui tentang ta'rif al muhkam dan al mutasyabih begitu pula dengan pembagiannya baik itu secara umum maupun secara khusus, disini kami akan mencoba mengangkat sebuah permasalahan yang mana penulis melihat merupakan titik awal dari sebuah perbedaan antara para ulama-ulama kita dan firqah-firqah yang lain, yang dari sini jugalah nantinya bermunculanlah istilah istilah seperti masyabbihah atau mujassimah atau juga saling tuduh antara yang mengatakan bahwa inilah takwil yang benar dan inilah takwil yang salah oleh karenanya Manaul Qatthan membuat judul khusus didalam bukunya tentang qadiyah ini menurut beliau Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat : “Warra sikhuna fil ‘ilmi”. Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya ialah “Yaquuluun” , dengan "wawu", diperlakukan sebagai huruf ‘isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz ” Wama ya’lamu ta’wilahu illAllahu” ataukah ia ma’tuf, sedag lafaz “wayaquluna” menjadi hal yang waqaf-nya pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi”.


Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’ab, Ibn Masud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:”wama ya’lamu ta’wilahu illAllahu wayaqulur rasikhuna fil‘ilmi amannabihi” Dan dengan qiraat Ibn Masud :“wainna ta’wiluhu illa ‘indAllahi warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” ayat ini menunjukkan terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatrinya sebagai orang-orang yang hatinya ‘condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah” dan juga “Dari Aisyah ia berkata;“Rasulullah SAW membaca ayat ini ‘huwalladzi anzalaalaikal kitab’sampai dengan ‘ulul albab’ kemudian berkata ‘apa bila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah.maka waspadalah terhadap mereka”


Pendapat kedua (yang menyatakan ‘wawu’ sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : ’saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan aya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.Pendapat ini dipilih juga oleh an Nawawi, dalam syarh muslimnya ia menyatakan : ‘inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru kepada hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.


Penjelasan


Setelah kita mengetahui inti dari permasalahan maka disini kami akan mencoba untuk mengkaji dari kedua pendapat tersebut.



pendapat yang pertama apabila kita teliti maka kita akan menemukan bahwa pendapat ini lebih menekankan agar manusia untuk tawaqquf tatkala ia di hadapkan oleh permasalahan-permasalahan ayat yang terindikasi mutasyabihat dan lebih menyerahkan ma’nanya hanya kepada Allah, dan pendapat ini kebanyakan di pegang oleh para salaf dan para muhadditsin, bahkan diantara mereka ada yang takut untuk membicarakannya apalagi mempertanyakannya sebagai mana diriwayatkan dari Imam Malik tatkalah beliau ditanya ayat tentang istawa’ beliaupun langsung diam sampai ketiga kalinya beliau ditanya Imam Malik pun gemetar, lalu iapun menjawab dengan jawaban yang cukup mutawatir di telinga kita ‘istiwa’ ma’lum wa kaifa majhul wal imanu bihi wajibun wa assualu anhu bidah. Kata beliau istiwa itu telah diketahui dan bagai mana dia istiwa itu tidak kita ketahui dan beriman terhadapnya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.dan belaiaupun langsung mengusir orang tersebut dari majlisnya.
Pendapat yang kedua yang menjadikan wawu sebagai huruf ‘ataf, pendapat ini lebih condong untuk mengatakan bahwa selain Allah swt manusia juga mampu mengetahui takwil dari ayat-ayat yang mutasyabihat tapi tidak semua yang mampu untuk mengetahuinya kecuali arrasikhuna fil ilm saja yang mampu untuk menakwilkan ayat tersebut, sekarang yang menjadi persoalan siapakah arrasikhuna fil ilmi yang di sebutkan oleh ayat itu? dan yang kedua apa yang dimaksud takwil dalam ayat ini? Apakah takwil Allah dan takwil manusia sama? Penulis dalam hal ini tidak akan menjawab pertanyaan tadi tetapi kami disini akan menjelaskan pendapat ulama didalam menyikapi pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama tentang arrasikhuna fil ilmi ulama’ terbagi didalam berapa pendapat diantara mereka mengklaim bahwa mereka adalah arrasikhuna fil ilmi, Pendapat yang pertama yaitu datangnya dari kalangan Filosof mereka membagi manusia menjadi tiga bagian yang pertama orang- orang yang bukan ahli takwil sama sekali, mereka itulah golongan (retorik) atau orang awam mereka adalah bagiaan terbesar manusia karena itu tak seorangpun yang berakal sehat yang bias di kecualikan dari kemampuan menerima pembuktian retorik ini . golongan yang kedua golongan yang ahli interpretasi dialektik, mereka ini golongan dialektik, yang di maksud filosof disini adalah para mutakallimin. Golongan yang ketiga yaitu orang orang yang ahli dalam bidang takwil yakini, kelompok ini adalah orang-orang yang ahli dalam bidang metode demonstratif, baik itu pengambilan ilmunya secara alamiyah ataupun melalui belajar.
Pendapat yang kedua dari golongan mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan sebagian dari Asya’irah mereka beranggapan bahwa mereka dari golongan arrasikhun fil ilmi. sebenarnya golongan ini terpaksa untuk menjadi arrasikuna fil ilmi! kenapa kami berkata seperti demikian, karena diantara argument mereka untuk mentakwil ayat yang sifatnya mutasybihat bertendensikan adanya ketakutan terjadi pen-tasybih-an atau pen-tajsim-an Allah dengan makhluknya apabila ayat ini di artikan secara dzahir. Berangkat dari adanya kehkawatiran inilah maka mereka mencoba untuk mencari makna-makna yang menurut anggapan mereka tidak jatuh kepada pen-tajsim-an.
Pendapat yang ketiga datang dari golongan Hanabilah. mereka membagi manusia kedalam tiga bagian dalam konteks pemahaman terhadap ayat ke 7 surah ali imran. kelompok yang pertama : mereka yang mengatakan bahwa ayat seperti (tangan Allah diatas tang mereka) mereka mengatakan tangan itu sama dengan tangan makhluknya dan penyebab mereka mengatakan seperti demikian, mereka berkata bahwa Allah berbicara dengan hambanya dengan sesuatu yang diketahuinya sementara pengetahuan manusia hanya didapatkan dengan apa yang Nampak di alam realita, mereka inilah golongan al mumastilah. Golongan kedua adalah golongan yang mengatakan bahwa ayat-ayat diatas merupakan tamstil oleh karenanya ayat tersebut tidak diartikan secara zahir akan tetapi diartikan secara ma’nawi, seperti al yad berarti nikmat dan juga bermakna qudrah. Kelompok yang ketiga memaknainya dengan arti hakikatnya tetapi tidak menyamakannya dengan makhluk, seperti penetapan tangan Allah secara hakikat akan tetapi tangannya tidak serupa dengan tangan manusia, karena penetapan Al-Yadain itu Allah sendiri yang menetapkan bagi dirinya karena dialah yang maha tahu akan dirinya dan dia tidak serupa dengan makhluknya “ dia tidak serupa dengan sesuatu dan dia maha mendengar lagi maha melihat” pendapat hanabilah ini hampir mirip dengan pendapat para filosof persamaannya adalah keduanya sepakat bahwa makna ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat harus diartikan secar zahir seperti ayat tentang tangan Allah atau apakah Allah akan dilihat di hari kiamat atau ayat ayat tentang turunnya Allah pada sepertiga malam. Menururt kedua kelompok ini makna teks harus diartikan sesuai dengan kemauan syariat, dan masyarakat awam dilarang bertanya tantang permasalahan ini kita hanya cukup menjawab ”tidak ada sesuatupun yang menyerupai dengan dia dan dialah maha mendengar lagi maha melihat” Dan kedua kelompok ini juga sepakat didalam menanggapi argument-argumen takwil yang di sebarkan oleh mutakallimin, kedua kelompok ini beranggapan bahwa yang di maksud oleh ayat “ adapun yang hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah” ayat ini ditujukan kepada para mutakallimin. ibnu rusyd memberikan argumen tentang ayat ini bahwa hal yang paling keras yang dilakukan oleh para mutakallimin adalah menakwilkan ayat-ayat yang menurut dugaan mereka makna yang di maksud bukan pada makna lahiriyah, mereka mengatakan bahwa takwil inilah yang dimaksud oleh ayat itu, padahal ayat tersebut Allah mengungkapkannya dalam bentuk mutasyabihat.


Mengkompromikan antara kedua pendapat dalam memahami makna takwil

Dengan merujuk kepada makna takwil (at ta’wil) maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat diatas itu tidak terdapat pertentangan,karena lafaz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna; Yang Pertama : Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.yang Kedua Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami. Dan yang Ketiga Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifatNya ialah hakikat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifat-sifatNya. Dan takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah;“Rasulullah SAW mengucapkan didlaam ruku’ dan sujudnya “subhanaka Allahumma rabbana wabihamdika. Allahumaghfirli” bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an yakni firman Allah ” fasabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu,innahukanatawwaba.”(anNasr:3)
jadi oleh karena itu golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz “wama ya’lamu ta’wilahu illAllah” dan menjadikan ” warrasikhuna fil ‘ilmi” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensiNya kaifiyat nama dan sifatNya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.
Sebaliknya golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘ataf, bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua yakni tafsir, sebagaimana dikemukakan mujahid, seorang tokoh ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini as Sauri berkata : “jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Jika dikatakan, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah mengetahui tafsirannya.Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.


Takwil yang tercela


Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama, memalingkan lafaz dengan makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin, dengan tujuan untuk labih memahasucikan Allah swt dari keserupaanNya dengan mahluk seperti mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka kedalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya ketika mentakwilkan ‘tangan’ (al yad) dengan kekuasaan (al qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan ‘tangan’ bagi Khalik mengingat mahluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafaz al yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkannya dengan al qudrah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan,atau al qudrah pula. Apa bila qudrah yang mereka tetapkan hak dan mungkin. Maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya jika penetapan ‘tangan’ dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan ‘kekuasaan’ juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap para panakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafaz-lafaz yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.
Akan tetapi ada sebuah syubhat yang sering kita mendengarkannya sebuah perkataan yang tak asing lagi di telinga kita “ tariqatul salaf aslam wa tariqatu al khalaf a’lam wa ahkam”jalan yang di tempuh oleh para Ulama’salaf itu lebih selamat dan jalan ulama’ khalaf itu lebih mengetahui dan lebih sempurnah, pandapat ini sebenarnya sangatlah absurd (baca: menggelikan) dan didalamnya terdapat kontradiksi, karena yang kita ketahui bahwa jalan yang ditempuh oleh ulama salaf itu lebih selamat dan lebih mengetahui dan lebih ahkam, karena mereka adalah ahlul ilmu dan ahlul hikmah, karena tak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang datang ilmu Allah yang datang kepada kita melalui wasilah dan karena keutamaan mereka , dan begitupun hikmah yang Allah berikan kepada kita itu merupakan fadilah dan hikmah mereka. Dan inilah yang disebut keselamatan, dan konsukwensi keselamatan adalah ilmu dan hikmah, bagaimana seseorang bisa selamat kalau ia tidak mempunyai ilmu, anggaplah kalau kita menganalogikan seseorang yang ingin ke kairo maka konsukwensi ia bisa selamat sampai ke kairo ia harus mengetahui jalanan ke kairo, mana mungkin orang yang tidak tahu jalan tujuan ia bisa sampai ke tujuannya. Dan juga yang penting adalah seseorang tidak mendapatkan keselamatan kecuali mengetahui hikmah setelah mendapatkan ilmu, karena seseorang yang berilmu tapi ia tidak menempu jalan kebenaran, maka orang tersebut bukanlah seorang yang hakim. Oleh karenanya kita tidak mungkin mendapatkan keselamatan tampa adanya ilmu dan hikmah secara mutlak. Jadi tatkalah kita mengatakan “thariqatus salaf aslam” maka itu termasuk didalamnya ahkam dan a‘lam. Tapi bisa saja timbul pernyataan bahwa yang dimaksud kaidah itu adalah jalan salaf pasti selamat dan jalan khalaf belum tentu. Maka kami menjawab, bahwa tatkalah seseorang telah mendapatkan ilmu dan hikmah maka Allah akan memudahkan hatinya untuk selamat.


Ayat mutasyabih dalam Al-Quran


Di dalam al itqan imam suyuti memberikan fasal untuk hal ini beliau membaginya menjadi dua yaitu : al mutasyabih di dalam ayat sifat, seperti surah (tahah ayat 5), (al-aqashas ayat 88) (ar-rahman ayat27)( tahah ayat 39),(al fatah ayat10). Dan yang kedua mutasyabih di awal surah seperti seperti ( alif lam mim, alif lam shad, dan alif lam raa,atau nuun.)


Epilog


Pembahasan ini sebenarnya belum final masih banyak lagi pembahasan-pembahasan yang menyangkut ayat ali imran ayat 7 ini, karena sinyal dari ayat ini bukan hanya di dapatkan di kawasan tafsir saja akan tetapi di kawasan aqidah pun para ulama kita ramai mendiskusikannya,dan kami meminta aspirasi dari teman-teman dalam kritik dan masukan.


Daftar pustaka :


1. Mabahist fi Ulumil Quran oleh Mannaul Qattan Maktabah Wahbah Kairo
2. At Tafsir Al Kabir oleh Imam Fakhruddin Arrazi jilid 4 maktabah taufiqiyyah kairo
3. Syarah Muqaddimah fi ushul tafsir oleh Syikh Utsaimin Dar ibnu jauizi Kairo
4. mendamaikan agama dan filsafat oleh ibnu rusyd. Nuansa aksara yogyakarta.



Selasa, 19 Januari 2010

Al muhkam Dan Al mutasyabih Dalam Al-Quran. Bag 1

Pendahuluan
Al-Quran yang turun dari tempat yang paling tertinggi dan dibawah langsung oleh malaikat suci (baca:jibril), merupakan mu’jizat yang tak ada duanya di alam ini dan akan terus selalu unggul dari setiap yang diunggulkan dan ini akan terus berlangsung sampai hari yang di tentukan, dan juga Allah swt. telah menjamin Al-Quran ini dari tangan orang-orang yang ingin merusaknya (kamilah yang menurunkan Al-Quran dan kami pulalah yang menjaganya).
Karena ia yang unik dan juga selalu sesuai dengan zaman maka Al-Quran akan terus selalu di kaji sesuai dengan perkembangan zaman, dan dia tidak akan bertentangan dengan zaman, dan Al-Quran tidak pernah di warnai oleh zaman akan tetapi Al-Quranlah yang mewarnai zaman, karena dengan Al-Quranlah zaman itu berkembang dan dengan Al-Quran pulalah kita bisa membuat peradaban dan dengan Al-Quran tersingkaplah ilmu-ilmu Allah yang ada di alam ini, oleh karenanya salah satu penyebab kemunduran islam di zaman ini karena mereka jauh dari Al-Qurannya dan lebih bangga untuk membeo kepada barat. dan juga terkadang ummat islam tidak mau mengaca dengan para pendahulunya yang dimana telah membuat peradaban yang besar yang ditulis dengan tinta emas dengan bimbingan Al-Quran.
oleh karena itu sebagai mahasiswa islam seyogianya terus mengkaji kandungan isi dari Al-Quran dan juga meneliti permasalahan-permasalahan yang sudah atau yang belum di kaji oleh para ulama kita yang terdahulu, karena pembahasan yang telah mereka kaji belum final. Dan jangan ada kata taqlid selama kita ingin mencari kebenaran. Karenanya pada kesempatan ini kami akan membahas salah satu permasalahan yang cukup penting yang terdapat didalam pengkajian Al-Quran. terkhususnya lagi dalam pembahasan ilmu-ilmu Al-Quran yang dalam hal ini terfokus pada pembahasan ayat-ayat yang bersifat muhkam dan ayat ayat yang bersifat mutasyabih.

Pembahasan.

Secara histori maudu’ ini bermuara tatkala Allah menurunkan surah (ali imran ayat 7) yang disini natinya terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’-ulama tafsir di dalam menjatuhkan vonis yang mana termasuk ayat ayat yang telah terdeteksi muhkam dan mana ayat yang mutasyabih. Berangkat dari sini jugalah mengapa ulama’ tafsir tatkala ingin memulai pembahasan ini mereka memulainya dengan surah ali imran. Ayat tersebut berbunyi yang artinya : Dia lah yang menurunkan alkitab (Al-Quran) kepada kamu diantarnya ada ayat-ayat yang muhkamat dan itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain mutasyabihat dan adapun orang yang hatinya condong pada kesesatan maka mereka mengikuti sebahagian ayat ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “kami beriman pada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sis tuhan kami” dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal.”
Di sisi lain imam suyuti meriwayatkan ada beberapa pandangan di dalam pembagian ini ada yang yang berasumsi bahwa keseluruhan dari ayat-ayat Al-Quran adalah muhkam dan ada juga yang berpandangan kebalikan dari pendapat pertama bahwa keseluruhan dari dari Al-Quran adalah mutasyabih. Pendapat yang pertama mereka mengambil dasar pijakan dengan firman Allah dalam surah (hud ayat 1) dan juga pada surah (yunus ayat 1) dan pendapat yang kedua mengambil dalil dari surah (azzumar ayat 23). kalau kita ingin melihat lebih lanjut sebenarnya masalah antara kedua pendapat ini tidaklah begitu serius, dan kita tidak perlu merajihkan salah satu pendapat sebagai mana yang diriwayatkan oleh imam suyuti dari ibnu habib an-nisaburi, karena kedua pembagian yang di singgung oleh an-nisaburi tersebut memang terdapat di dalam Al-Quran dan diantara ulama ada juga yang telah membaginya, dan penulispun merasa bahwa ibnu habib an-nisaburi ingin mengatakan seperti demikian, hanya ibnu habib an-nisaburi mempunyai sangkaan lain bahwa kedua dalil yang disebutkan oleh kedua pendapat diatas bukan menunjukkan kepada sifat ayat Al-Quran secara umum akan tetapi Al-Quran secara khusus.
Dikalangan ulama yang telah membaginya menjadi tiga adakah Syaik utsaimin didalam sayrah ushul at tafsir membagi Al-Quran dari sudut pandang al muhkam dan al mutasyabih menjadi tiga bagian, yang pertama : ihkam al am, dimana Al-Quran di sifati secara umum.dalilnya dalam surah (hud ayat 1) yang arti bebasnya “ inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi serta di jelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang maha bijaksana lagi mahatahu. Yang kedua: at tasyabuh al am dalilnya surah (azzumar ayat 23) yang arti bebasnya Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang. Kemudian pembagian yang ketiga terakhir adalah ihkam al khash bi ba’dhi hi wa at tasyabuh bi ba’dhi hi contohnya surah (ali imran ayat 7) sebagai mana telah kami jelaskan sebelumnya . Ini senada dengan yang dikatakan oleh imam Fakhruddin Arrazi dalam Tafsir Al kabirnya beliau mengatakan bahwa “ketahuilah bahwa di dalam Al-Quran ada ayat yang menjukkan muhkam secara umumnya dan mutasyabih secara umumnya dan ada juga ayat yang sebahagianya muhkam dan sebahagiannya mutasyabih”. Adapun yang dimaksud dengan muhkam secara kulli adalah semua perkataan yang terdapat didalam Al-Quran itu adalah al-hak dan juga ke fasihan dari semua lafadz yang ada didalamnya dan ma’nanya selalu mengandung kebenaran dan dari keseluruhan ucapan dan perkataan yang di dapatkan maka Al-Quran tidak akan ada yang menandinginya. Adapun at tasyabuh secara umum atau kulli sebagaimana yang di sebutkan dala Al-Quran surah (azzumar ayat 23) bahwa kandungan dari Al-Quran itu selalu berserikat di dalam kebenaran dan selalu membenarkan satu dengan lainnya, sebagai mana ayat yang artinya “ sekiranya Al-Quran ini bukan dari sisi Allah maka akan di dapati perbedaan yang banyak”

Definisi muhkam dan mutasyabih

Kalau kita kembali ke ayat di atas surah (ali imran ayat 7) maka Dari ayat ini telah cukup jelas pengkhabarkan Allah kepada kita tentang pembagian sifat kalam tersebut menjadi dua yang pertama ayat ayat yang muhkam dan yang kedua ayat ayat yang mutasyabih, sebelum kita masuk lebih dalam lagi perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari kedua istilah tersebut diatas.
Kata muhkam Dari segi bahasa Menurut penulis Manna’ul Qatthan dalam bukunya Mabahist Fi Ulumil quran mengatakan bahwa ia berasal dari kata-kata : “hakamtud dabbata wa ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan : “hakamtus safiha wa ahkamtuhu” artinya saya memegang kedua tangan orang dungu, juga dikatakan : ” hakamtud dabbata wa ahkamtuha” artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Sedangkan Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman dalam surah ( al Baqarah: 25). Maksudnya sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan.

Muhkam dan mutasyabih secara khusus

Sebagai mana kami katakan diatas bahwa Al-Quran disifati dengan muhkam secara kulli dan dia juga mutasyabih secara umum dan juga kami katakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat juga ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat, imam suyuti didalam kitabnya al itqan menyebutkan kurang lebih sepuluh pendapat ulama’ tentang perbedaan ini. Diantara pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa, Al-Muhkam adalah apa yang di ketahui maksudnya baik itu secara takwil ataupun secara dzahir, dan mutasyabih apa yang hanya Allah mengetahuinya seperti hari pembalasan keluarnya dajjal,dan huruf muqathaah di awal-awal surah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang di maksud dengan Al-Muhkam adalah apa yang terang atau jelas ma’nanya dan mutasyabih sebaliknya . Manaul Qatthan dalam bukunya menyebutkan juga perbedaan tersebut diantaranya Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerluan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian. Ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain . Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haramm hudud (hukuman) kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifatNya, antara lain : dalam surah : (Taha : 5), (al Qasas: 88), ( al fath: 10), ( al An’am: 18), (al Fath: 22), (al Fath : 6), (al Bayyinah: 8),(Aliimran:31) Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk didalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.
Dari sini kita melihat dengan banyaknya pengertian yang di berikan oleh ulama-ulama kita ada kemungkinan sulit untuk mentahdid tarif dari muhkam dan mutasyabih tersebut. tetapi kalau kita melihat ta’rif yang digunakan kebanyakan dari mereka maka kebanyakan dari para ulama’ kita mendefinisikan ayat al-muhkam itu sebagai sesuatu yang mudah difahami oleh akal dan sifatnya lebih menekankan kepada pengamalan jasmani. sementara ayat-ayat al mutasyabih ulama’ lebih banyak bertendensikan pada hal-hal yang sulit bagi akal untuk menjangkaunya atau memahaminya atau dengan kata lain hal-hal yang sifatnya metafisika dan abstrak yang dimana arrasikhuna fi ilmi mengatakan kami beriman saja. Maka dari ini untuk sementara kami berkesimpulan bahwa perbedaan antara muhkam dan mutasyabih selain perbedaan dari segi lughawiyyah maksud kami adalah penamaan atau ( tasmiyah) juga perbedaan kepada sesuatu yang dituntut untuk diamalkan dan mudah difahami dan inilah yang kami maksud dengan muhkam. Dengan sesuatu yang tidak mudah untuk digapai maksudnya oleh akal dan kita dituntut cukup untuk menyakininya maka inilah yang kami maksud dengan ayat yang mutasyabih. sebagai mana yang dikatakan oleh imam ibnu abi hatim telah diriwayatkan dari akramah dan qatadah dan selain dari keduanya : bahwa muhkam apa yang di amalkan dam mutasyabih apa yang dituntut untuk di imani dan tidak diamalkan


Minggu, 17 Januari 2010

Pendikotomian Ilmu Tuhan

Pengetahuan keagamaan tidak akan berarti kalau hanya dipelajari sebagai ilmu saja, anggaplah misalnya kita mempelajari agama islam hanya sebagai islamologi saja , padahal didalam ajaran agama amalan dan kreativitas lebih sangat dituntut,
Pengetahuan keagamaan, secara kulli selalu menekankan pada keimanan terhadap sesuatu yang khariji (baca: zahir) atau juga sesuatu yang tidak nampak dialam realita dalam artian metafisis dan juga kebaktian kepada sesuatu yang tidak mudah difahami dan di cerna olehakal manusia. Oleh karena itu orang-orang materialis beranggapan, bahwa sesungguhnya pengetahuan keagamaan sangatlah subyektif, karena sulit dipertanggung jawabkan secara ilmiyah dan sulit untuk di cerna oleh aturan berfikir, Di sinilah letaknya kenapa materialisme sangat sulit sekali menerima pandangan-pandangan yang menyangkut tentang permasalahan hari kebangkitan yang secara rasional tidak ada jejaknya. sekalipun demikian secara batiniyyah doktrin keagamaan lebih memuaskan bagi pemeluknya, apalagi pengetahuan keagamaan dijalankan menurut undang undang yang telah diatur oleh agama tersebut.
Akan tetapi bila kita kembali melihat realita yang ada, kebanyakan orang memahami agama secara sangat juz’iy atau secara parsial (baca:sebagian) yang akhirnya berdampak ketidak serasian antara nilai-nilai agama dan prilaku kehidupan sehari-hari. ini disebabkan oleh adanya pendikotomiyan ilmu allah oleh para ilmuan dan kaum agamawan. A.M saefuddin mengatakan bahwa kesemuanya ini terjadi karena formula yang diciptakan oleh presepsi ilmu pengetahuan dan penganut agama memang memungkinkan, karena sampai saat ini ilmu pengetahuan selalu mengelak dan ingin berdiri sendiri diluar agama dalam artian sekularisme. Dan sekularisme menurut beliau bukan hanya di produksi oleh kaum ilmuan tetapi juga para agamawan yang buta akan sunnatullah.
Oleh karena itu maka tidak heran kalau ada sebagian kiai yang berasumsi membedakan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat, padahal kalau kita ingin mengkaji kembali didalam Al-Quran dan Al-Hadits tidak ada yang namanya pembedaan tersebut baik itu secara tersirat maupun tersurat, yang ada hanyalah ilmu Allah swt karena Allah adalah pemilik dunia dan akhirat. jadi tatkala seorang pelajar islam mempelajari keduniaan seperti ilmu kimia, ilmu falak, dan filsafat. Itu sama berarti seorang tersebut secara tidak langsung telah mempelajari ilmu Allah dan dengan demikian bisa menghasilkan pribadi-pribadi muslim yang sejati yang tidak hanya memahami agama secara parsial tetapi sampai kederajat kaffah dan kamal, oleh karenanya pemahaman sekularisme bukan hanya sengaja diciptakan oleh para ilmuan tetapi juga mendapat dukungan dari kaum agamawan yang tidak menyadari sikapnya.
Dalam dunia metafisika yang paling sulit dan banyak menguras akal para filosof adalah konsepsi tentang al haq (baca:tuhan), sejarah telah membuktikan bahwa dari zaman yunani kuno sampai saat ini masih belum bisa membuktikan adanya tuhan dengan menggunakan pendekatan kosmologis,ontologis,dan teologis.yang ketiga-tiganya menggunakan manhaj aqli atau menggunakan metode pendekatan secara rasionalitis. Ketiga metode ini hanya memberikan kuasa kepada akal saja tidak dengan mata batin dalam menjalankan proses berfikir. Pendekatan semacam ini tidak akan menyentuh ke hati kecil kita untuk mendapatkan keimanan dan juga untuk mencapai al haq tetapi malah memantulkan keraguan kita kembali. penyebab yang paling mendasar adalah karena metode atau manhaj yang diterapkan oleh para filosof tidak sesuai dengan obyek, karena untuk mencapai obyek (al haq) itu hanya bisa dicapai secara memuaskan dengan menggunakan metode intuitif atau pendekatan yang bersifat batiniyah di banding lewat pendekatan secara rasionaitis,akan tetapi keduanya akan menjadi romantis dan tajam apabila kedua pendekatan tersebut digabungkan. dan kedua metode inilah yang sekarang di jalankan oleh fakultas filsafat di Al Azhar. Dari uraian diatas maka penulis berkesimpulan bahwa tidak adanya pendikotomiyan didalam berbagai cabang ilmu karena kesemuanya mempunyai hubungan yang erat karena dia berada dalam satu lingkaran satu pencipta yaitu Allah  


Senin, 04 Januari 2010

Kun Mujaddidan wala takun Mutajaddid

Kata tajdid atau pembaharuan mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita karena kata yang satu ini sudah jauh-jauh hari manusia yang paling mulia di alam ini ( baca : rasulullah) telah menyampaikan di depan para Sahabat-Sahabatnya tentang adanya seseorang yang akan memperbaharui Agamanya ini nanti di tiap-tiap abadnya.

Kata tajdid  sebenarnya tidak selamanya berkonotasi mahmudah ( positif ) dia dapat pula berkonotasi mazmumah ( negatif ) oleh karenanya perlu memahami betul pembaharuan mana yang harus kita jadikan jalan dan yang mana perlu ditolak atau kita tinggalkan, apabila yang dimaksud tajdid itu  pemurnian kembali ajaran agam Islam dari segala penyelewengan yang tidak bersandarkan kepada Al- Quran dan As-Sunnah maka pembaharuan ini masuk dalam konotasi yang pertama yaitu tajdid yang positif dan termasuk amalan yang di cintai oleh Allah Swt. Bahkan termasuk golongan yang disebutkan oleh hadits Rasulullah Saw diatas. Tetapi bila pembaharuan itu untuk mengubah sesuatu yang sudah qati’I, tsabit ( tetap) dalam agama ini atau melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasikan ke masa depan nostalgia atau orientasi dan kerinduan pada masa Salaf yang berlebihan harus diganti dengan pandangan ke masa depan , maka ini masuk kedalam pembaharuan yang di cela, dilarang dan ditolak oleh Islam. Juga termasuk dalam kategori jenis ini adalah upaya membuang salah satu ajaran islam dengan alas an dunia ini semakin mengecil akibat globalisasi, moderenisasi dan kehidupan pluralistic. Pembaharuan yang dilarang itupun mencakup meninggalkan wahyu dan beralih pada hawa nafsu, hukum akal serta maslahat sebagai tolak ukur perbuatan.
Pembaharuan jenis pertama, kata syaikh Abu Hasan Al-Maududi, itulah yang disebut dengan tajdid (pembaharuan) dan orangnya disebut mujaddid ( pembaharu). Adapun lanjutannya pemabahruan jenis kedua sebenarnya bukan pembaharuan tetapi tajaddud ( membuat-buat yang baru) dan pelakunya disebut mutajaddid. Mutajaddid inilah yang sekarang dikenal dengan neo moderenis.
Kalau kita ingin mencermati kembali sejarah timbulnya pemikiran ini maka gerakan tajdud atau neo moderenis ini tidak bersumber dari ajaran islam akan tetapi dia bermuara dari ajaran agama yang dibawa oleh Paulus yang merombak struktur ajaran agama tauhid yang dibawah oleh Nabi Isa As. Dan di perparah lagi di tahun 1960-an, padawaktu itu nihlah Nasrani ( yang kami maksud agama yang talah di buat Paulus pasca Nabi Isa diangkat) membuat sejarah baru dari 2000 tahun ajaran ini didirikan.
Yang pertama : konsili vatikan II tahun ( 1962 – 1965 )  Dan yang ke dua : terbitnya buku the secular city karya : Hervey Cox.
Dari 21 konsili yang diakui sebagai konsili oikumenis oleh gereja katolik sepanjang 2000 tahun sejarahnya, konsili vatikan II merupakan yang terbesar. Tujuan konsili vatikan II digariskan oleh Paus yohanes XXIII sebagai pembaruan didalam gereja katolik ( paus menyebutnya dengan istilah aggiornamento )

Melalui konsili vatikan II inilah gereja mengadakan perombakan besar-besaran dalam ajaran gereja, dimulai dari pengahncuran aspek ushuluddin ( pokok agama) atau teologi, seperti gereja membuang doktrin eksklusif yang berusia ratusan tahun extra eccelesiam nulla salus ( diluar gereja tidak ada keselamatan) menjadi doktrin inklusif yang mengakui keselamatan pada agama lain. dan itu bisa kita lihat sendiri dari sifat Negara adikuasa seperti Amerika dan eropa beserta sekutu-sekutunya yang mayoritas beraqidah pauluisme mendukung gerakan gerakan-gerakan yahudi zionisme, padahal kalu kita melihat dari kacamata nasrani itu sendiri bahwa yahudi merupakan musuh terbesar ajaran agama mereka dikarenakan Yahudilah yang menggantung Tuhan Yesus Keristus di kayu salib.

( Salah faham )

Kebanyakan dari tokoh cedikiawan muslim ataupun para pemikir muda Islam salah di dalam memahami kata tajdid atau pembaharuan dalam Islam itu, kebanyakan dari mereka terpengaruh oleh arus pemikiran ala Barat yang memisahkan kehidupan ruhani dan kehidupan materi dan melupakan terminologi yang datangnya dari agama suci ini, mereka mendifinisikan tajdid itu dengan moderenisasi.

( Dari moderenisasi ke liberal

Salah satu tokoh mutajaddid pemikir islam Indonesia Nurkholis Majid ( cak Nur ) pernah berkata : bahwa inti dari moderenisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah tuhan maka dari itu modernitas membawa pendekatan pada tuhan yang maha esa.

Sebenarnya alur pemikiran mutajaddid atau neo modernis ini berasal dari tashawwur mereka terhadap alam ini dan apa yang ada di dalamnya termasuk juga pandangan mereka tentang kehidupan manusia. Menurut mereka kehidupan manusia terbagi menjadi dua bagian yang pertama adalah kehidupan spiritual dan yang terakhir kehidupan material. Kehidupan spiritualadalah hubungan antara manusia dan penciptanya yang dimana dalam masalah ini manusia tidak dapat di ganggu oleh siapapun karena ia berhubungan dengan pribadi manusia disinilah tugas agama untuk membantu pribadi tersebut menumbuhkan sifat moral dan etika didalam diri manusia tersebut, adapun kehidupan material ( duniawi) yang dimaksudkannya adalah seluruh aktifitas yang dilakukan di alam raya ini mencakup kegiatan sosial, politik, ekonomi, hukum,pendidikan dan budaya. Kehidupan jenis kedua ini bersifat kolektif tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri dan penyelesaiannya hanya dapat dilakukan oleh sains dan teknologi melalui akal manusia, agama dalam hal ini hanya membina etika, moral dan tanggung jawab saja.
Bila agama berperan dalam mengatur masalah dunia akan menghambat kemajuan karena menghambat kreatifitas. Oleh karena itu, seruan berikutnya ( sekte ini ) adalah liberalisasi, yang mereka definisikan sebagai membebaskan kehidupan duniawi dari nilai-nilai sakral agama. Dengan kata lain tidak perlu ada aturan dan hukum agama dalam urusan politik, sosial, budaya selain moral dan etika. Dari pemikiran seperti ini muncullah pemikiran-pemikiran cabang lainnya seperti sekularisme, pluralisme, yang akhirnya menghancurkan bukan hanya dalam masalah hukum syariat amaliyah
( furuiyyah) bahkan juga dalam masalah pokok agama   ( ushuliyyah ). Seperti yang dikatakan oleh Max Weber bahwa inti moderenitas adalah rasionalisasi yang mensyaratkan adanya proses sekulerisasi.
Sebenarnya cara berfikir yang ditempuh oleh kaum mutajaddid adalah teori dialektika-materialis yang beranggapan bahwa setiap materi saling berkaitan dengan yang lainnya, yang apabila satunya berubah yang lain akan berubah dan terus berubah hingga menuju pada keadaan yang lebih baik, padahal tidak semua materi itu berubah, dari dulu sampai sekarang manusia masih butuh makan, minum, lapar butuh kasih sayang dan banyak hal yang tidak berubah pada diri manusia itu sendiri. Ustad Adian Husini dalam artikelnya yang berjudul ( 37 tahun pembaharuan Indonesia ) mengatakan bahwa : Islam bukan agama sejarah dan agama budaya. Islam adalah agama final dan sempurnah dari awal. Karena Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentitas teks dan maknanya. Bagi islam, hukum haramnya Babi tidak pernah berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sebab teks ayat Al-Quran tentang hal ini ( Q,S 5:3 ) tidak berubah. Konsep teks Al-Quran yang final ( yang lafadz dan maknanya dari Allah ) berbeda dengan konsep teks Bibel sebagai teks yang ditulis Manusia yang mendapat inspirasi dari Roh Kudus dan berubah dari waktu kewaktu. Karena itu kesalahan fatal dari gerakan pembaharuan islam dalah menjiplak begitu saja pengalaman pembaharuan pada agama lain untuk diterapkan kedalam Islam, dengan menyamakan karakter ajaran agama islam dan sejarah islam dengan karakter ajaran Yahudi-Keristen dan sejarahnya di barat.
Di dalam Islam memang tidaklah dilarang pembaharuan yang membuka pintu ijtihad bagi mereka yang mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam berijtihad, dan juga mempersiapkan dan mendidik orang-orang agar mampu berijtihad seta menggali hukum-hukum syara untuk menjawab problematika kehidupan yang terus-menerus bermunculan, Yang dilarang Itu adalah melakukan Attajaddud fi Ad din yang mana dalam hal ini menghancurkan sendi-sendi dan merevolusi ajaran agama ini. wallahu a'lam bis sawab.


Calon Disertasi-nya Abu Nur..

                                  تمهيد  
تعتبر قضية المصادر فى التصوف الإسلامى من القضايا المهمة فى الفكر الإسلامى, وقد كانت وما زالت من أخطر الموضوعات التصوف الإسلامى : لأن الاعتراف بوجوده كعلم يتأسس على الإيمان بمشروعية مصادرهز
والباحث فى التصوف الإسلمى يندهش عند المطالعة إنتاج متناولى التصوف الإسلامى با البحث و التأليف.وذلك لما يراه من إصدار الأحكام المطلقة التى سنلتقى بعد القليل من نماذج منها, ( وقد أدلت معظم الإتجاهات الثقافية الأخرى بدولها فى الحلبة الصراع, فقج نجد : الفقهاء, والمفسرين, و المحدثين, وعلاماء الكلام, و الفلاسفة قدامى و المحدثين, والمستشرقين, وشمل الصراع كل القضايا هذا العالم العجيب, سواء تعلق الأمر بمصدر المعرفة وطبيعتها. أم تعلق با لقضايا العلمية التفصيلية, وخاصة تلك التى كانت محلا للمقارنة بين الإتجاهات الفكرية المختلفة, كما اتسم الصراع بالحدة والعنف إلى حد إنكار وجوده كعلم, وإلى حد التوجيه تهم خطيرة : تبدأ من الإنحراف و الابتداع وتنتهى إلى الزندقة المنحرفة.
وكان الصلاح المشترك - فى كل هذا – هو رد الحقائقالصوفية الى الأفكار و الملل والنحل الأجنبية المنحرفة.
وقد قاوم الصوفية المسلمون هذه الهجمات المتواليةمن خصومهم , محاولين نقض التهم المواجهة إليهيم وتلمس الجذور الإسلامية للتصوف, كما حاول الشيئ نفسه بعض الباحثين المعتدلين, وعندما أصفهم بالإعتدال فلست خاضعا لحكم الهوى أو العاطفة أو لأى عامل اّخر, ويرجع سبب وصفى لهم بذالك إلى مل رئيته لدى الأخرين غيرهم من غلو وتجن وإغفال لقواعد المنهج السليم, حيث يقرأ هؤلاء التراث الصوفية قراءة إنتقائية, فيأخذ منه ما يؤيد وجهة النطرهم فقط ويصدرون أحكامهم العامة منذ العطور الأولى من مؤلفاتهم. لنقرء مثلا هذه العطور من كتاب ( التصوف : المنشأ و المصادر ) حيث يقول مؤلفة فى المقدمة ( كنت أظن أول الأمر أن بعض الغلاة هم الذين أساءو الى التصوف و الصوفية وأن الغلو والتطرفهو الذى جلب عليهم الطعن, وأوقعهم فى التشابه مع التشيع و الشيعة, ولكنى وجدت – كلما تعمقت فى الموضوع, وتأملت فىالقوم ورسائلهم, وتوغلت فى جماعتهم وطرقهن, وحققت فى سيرهموتراجمهم- أنه لا إعتدال عندهم كا لشيعة تماما, فإن الاعتدال فيهم كا لعنقاء فى الطيور, و الشيعى لايعد شيعيا إلاحيثما يكون مغاليا متطرفاو وكذالك الصوفى تماما, فإنه لا يعتقط اتصاف الخلق بأوصاف الخالق لا يمكن أن يعد صوفيا ووليا من أولياء الله.
ومن الطرائف أن ظنى ذلك ييجعلنى ويحثنى على أن أسمى مجموعة الكتابة عن المتصوف ( التصوف بين الإعتدال و التطرف ) ولكننى لما كتبت وجدت أن هذه الاسم لا يمكن أن يناسب تللك المجموعة من الناس لعدم وجود الاعتدال مع محاولتى أن وأجده
وكما كان هذا الباحث واضحا فى نفى الاعتدال عن الصوفية جميعا كان أكثر وضوحا فى ذكر أسباب ظهور التصوف فى البيئة الإسلامية ولنقرأ ما كتبه بعد حذيثه عن لمحات من حيات سيدنا رسولله وحياة اصحابه, وتابعهم رضواان الله عليهم أجمعين, وفى ذلك يقول ( ثم خلف من بعدهم خلف فتطرفوا , وذهبو بعيدا فى نعيم الدنيا وزخارفه, وفتحت عليهم أبواب الترف والرخاء, ودرت عليهم الأرض و السماء وأقبلت عليهم الدنيا بكنوزها وخزائنها وفتحت عليهم الآفاق فانغمسو فى زخارفها وملذتها وبخاصة العرب الفاتحون الغزات والغالبون الظاهرون فحصل رد الفعل فى نفوس المغلوبين المغتزوين و المقهورمن الماوالى والفرس والمفلبين وأصحاب النفوس الضعيفة المتناوية خاصة, فهربو عن الحياة ومناضلتها وجدها وكدها ولجأوا الى الخانفاوات والتكايا والزوايا والرباطات فرارا من المبارزة والمناضلة وصبغو هذا الفرار والإنهزام ورد الفعل صبغة دينية.ولون قداسة وطهارة وتنزه وقرابة , كما كان هنالك الأسباب ودوافع مؤثرات اخرى وكذلك أيد خفية دفعتهم إلى تكوين الفلسفة جديدة للحياة وطراز اٌخر من المشرب والمسالك وأسلوب جديد للعيش والمعاش, فظهر التصوف بصورة المذهب مخصوصة اعتنقه قوم وسلكه أشخاص ساذجون بدون التفكير كثير وتدبر عميق كمسلك للذهد ووسيلة التقرب الى الله غير العارفين بالأسس التى قام عليها هذا المسرب, والقواعد التى أسس عليها هذا المذهب بسذاجة فطرية وطيبة طبيعية كما تستر بقناعه وتنقب بنقابه بعض الآخرون لهدم الإسلام وكيانه, وإدخال اليهودية والمسيحية فى الإسلام وأفكارهما من جانب, و الزرادشتية والمجوسية والشعوبسة من جانب اخر, وكذالك الهندوكية والبوذية والفلسفة اليونانية الأفلاطونية من ناحية أخرى, وتفويض أركان الإسلم والغام تعاليم سيد الريول ونسخ الإسلام وإبطال الشريعة بنعرة وحدة الوجود, وحدة الأدسان وإجراء النبوة وترجيح من يسمى بالولى على أنبياء ورسوله, ومخالفة العلم والتفريق بين الشريعة والحقيقة وترويح الحكايات والأباطيل والأساطيربإسم الكرامات والخوارق وغير ذلك من الخرافات و التراعت)
وقد لخص هذا الكاتب فى هذه السطور جل التهم المواجهة للتصوفالإسلامى ألتى تعاملت مع قضية المصادر والتى قامت برده الى جذور غير إسلامية سواء كانت أديانا كتابية محرفة أو نحلا أرضية باطلة, أو أفكارا بشريا منحرفا.
ولم يأتى بجديد بل أعاد تكرارا التهم التى سبقه فى ايرادها كثير من المستشركين وأتباعهم علما بأن ( أصحاب هذا الاتجاه الرامى الى تفسير نشأة التصوف بعوامل الخارجية قد أغفلو الجانب الأكبر من تراث الصوفية فى حديثهم عن صلتهم بالله, وما تتطلبه من طاعة وعبادة كما أغفلوحديثهم عن الأخلاق , والإلها مات الصادقة ألتى أخضعوها المقياس الشريعة, ولم يلتفتو إلا إلى ملاحظة حديث بعض الصوفية عن الفناء أو وحدة الوجودأة الحلول, وليس التصوف كله هو تلك النظريات الأجنبية التى لا تمثل – بحسب النظرة الشاملة إلى الراث التصوف – إلا قطاعا عامشيا جزئيا لم يتيح له الا نتشار أو الذيوع بين السائر الصوفية , بل كان – عند الكثرة الساحقة منهم – موضع إنكار ومعارضة , وكان أصحاب -- عندهم – موضع النقض ومؤخذة ومعنى ذلك أن الإقتصار فى نشأة التصوف على المصادر الأجنبية وحدها ليس إلا نوعا من التعميم الذى يفتقر إلى الدقة ويحتاج إلى تحديد ) .
وهذا الاتجاه – فيما يبدو – كان وثيق الصلة باتجاه عام يرمى الى إرجاء العلوم الإسلامية إلى مصادر الأجنبية , فعلم الكلام القائم على الدفاع عن العقيدة الدينية ليس الا صورة من الفلسفة اليونانية عنج بعضهم.
و التفسير القران لدى المسلمين ليس الا تقليدا لطريقة سبق أن وضعها السريان فى شرحهم للكتب الفلسفية والمنطقية التى ترجموها إلى الغتهم , أم الفقه فيرى بعضهم أنه متأثر بالقلنون الرومانى , وينطبق ذلك – من وجهة نظرهم—على التصوف الذى يرجع إلى مصادرأجنبية إختلفت بإختلاف الدارسين , وترتب على ذلك تجاهل العوامل التى أدت إلى نشأته البيئية الإسلامية) .
فالقضية ليست مقصورة على التصوف الإسلامى فحسب بقدر ما هى حرب المعلنة على الإسلام وعلى المسلمين لتجريد هم من كل مزية وفضل ولكن إرتباطنا بموضوع التصوف يلزمنا بالحديث فى إطاره فقط, ومن هنا فإننا سنقوم بإيراد أخطر التهم الموجهة للتصوف الإسلامىفى موضوع المصادر , علما بأنن لن نناقش هذه التهم عند إيرادها بل سنقوم بالتعقيب عليها إجمالا ثم نورد الأصول الإسلامية للتصوف.









                                                                          المبحث الأول

المصادر الأجنبية التى لتهم التصوف الإسلامي بالأخذ عنها :
فى هذه الفقرة نسوق الآراء التى ردت التصوف الإسلامى لمصادر غير الإسلامية, ملتمسين أوجه الشبه بين بعض الأفكار و الممترسات فى التصوف الإسلامى من جانب , والأديان الكتابية والنحل والفلسفات من جانب اخر, ونوردها حسب هذا الترتيب فيما يلى :
أولا : الأديان الكتابية :
ونقصد بها با الدين اليهودى و الدين المسيحى حيث نحاول فى هذه السطور ذكر بعض المسائل فى كلم الدينين التى من اجلها تم الحكم على منابع التصوف الإسلامى بأنها يهودية أو نصرانية.
(أ‌) اليهودية.
من أهم الأفكار لليهودية التى اتهم بها التصوف الإسلامى :
- نزعة التشبيه الغليظة التى أدت إلى القول بالوجود الواحد.
- ونظرية الكلمة.
- وفكرة الوصائط فى الخلقى و الصدور على وجه العموم .
ولا بد من الإشارة الآن إلى أمرين على جانب كبير من الأهمية :
الأمر الأول : التورة التى فى أيدى اليهود ليست هى التورة الحقيقية المنزل من السماء.
الأمر الثانى : اليهودية كدين كانت تحتوى على بعض النظرات العرفانية, كان الطابعها محاولة التوفيق بين الديانة اليهودية والفلسفة الإغريقية.
وقد حاول ( فيلون) اليهودى الإسكندرى المشهور ( تأويل ما ورد من التشبيه الغليظ فى التورة المحرفة و تعميم اله بنى إسرائيل ليصبح اله العالم كله , ولكنه يستخديم من التعبيرات ما يجعله رازحا تحت نير الوثنية: فالله أبو العلم نفسه.
والكلمة الأولى إبن الله البكر.
ولا يتحرز من إطلاق لسمية الألوهية على العالم والكواكب كما فعلت الأفلاطونية المحدثة من بعد.
وخلق آدم على الصرة.
وتقسيم المعرفة الى أربع درجات:
معرفة أدنى بالنظر الى مصنوعات .
ومعرفة عن طريق الوسطاء.
والثالثة تلحق الإنسان بالكلمة أو ( اللوغوس) الأعظم.
ثم إدراك الحق فى ذاته , وذالك عن طريق العبادة الباطنية الذهد)
والذى جعل أصحاب هذا الإتجاه يحكمون بالرد التصوف الإسلامى الى مصدر اليعودى يتمثل فى أمرين :
الأول : الأفكار اليهودية التى اتهم بها التصوف الإسلامى وانشار إليعا فى صدر هذه الفقرة.
الثانى : إحتمالات تأثير الإسلاميين باليهود من خلال اليهود أنفسهم الذين عاشرو العرب والمسلمين, كما كان لإسلام الكثير منهم تأثير فى التيار العرفانى فى الإسلم.
ولعلنا نلاحظ بعض الأسماء البارزة من اليهوط الذين أسلمو كوهب إبن منبه, وكعب الأحبار, وابن سبأ وغيرهم.
كما لا يخفى الظهور بعض الأسماء الشهيرة من الفلاسفة اليهودية فى البيئة اإسلامية مثل : إسحاق الإسرائيلى, وابن جبرول, وابن سيمون, وابن ميمون, وأبو بركات البغدادى, وكان للكثير منهم تأثير بالأفكار الغنوصية , وما جاء عن طريق الأفلاطونية المحدثة على وجه الخصوص.
(ب‌) المسيحية :
الباحثين الذين ردو التصوف الإسلامى المصدر المسيحى كان لهم حديث طويل حول هذه النقطة , فقد قامو برصد بعض الأفكاروالممارسات الصوفية ردها الى الجزور مسيحية.
والمستشركون – بطبيعة الحال – كانو أشهرو من بالغ فى تناول ه ه المسألة , والركيز عليها, والإلحاح بشأنها, وتابعهم بعض الباحثين المسلمين – عربا وغير عرب -- , ومن هذا الأسماء : جولدتسيهر,وبلاسيوس, والنشار, وإحسان إلهى ظهير.
ومن أهم الأفكار التى تسربت إلى التصوف الإسلامى من المسيحية – غند صحاب هذه الإتجاه – نظرية الكلمة , التى هى فى النصرانية واسطة بين الله والخلق, والتى اصطنعها بعض الصوفية فى التعبير النظريتهم فى الحقيقة المحمدية فى إعتبارها أول مخلوق خلقه الله, أو : أول تعين للذات الإلهيةفاضت منه بقية التعينات الأخرى من روحية ومادية , ولم تظهر هذه العناصر النصرانية واشباهها إلا بعد أن كان المسلمون قد إختلطوا با النصارى وأخذو يحاورونهم ويجادلونهم فى العقائد , فكان طبيعيا ينتشر بعض هذه العقائد النصرانية , وأن يعمل عمله فى البيئة الإسلامية, ويتردد فى أقاول الصوفية ومذهبهم فى الحب الإلهى وفيما يتصل به من إتحاد بين الرب والعبد , ومن حلول الرب فى العبد.)
أم أوجه الشبه فى السلوك بين الصوفية المسلمين و بين النصارى والتى يراها الباحثون أدلة للحكم على التصوف الإسلامى بأن منابعه نصرانية فمنها: الإعراض عن الزواج , ويسوك لنا الكاتب إحسان إلهى ظهير كثيرا من أقوال الصوفية مقارنا لها بالنصوص المسيحية فى نفس الموضوع , فمن أقوال الصوفية ما نقلوه عن إبراهيم بن أدهم فى قوله : ( إذا تزوج الفقير فمثله مثل رجل قد رقب السفينة , فإذا ولد له ولدا غرق ) , وما نقله عن الجنيد وهو قوله : ( أحب المريد المبتدىء أن يشغل قلبه بالتزوج)
ونفس الفكرة نقلها عن الغزالى فى قوله : ( ينبغى أن لا يشغل نفسه المريد نفسه بالتزوج , فإنه يشغل عن السلوك وينأس بالزوجة, ومن أنس بغير الله شغل عن الله تعالى)
ونتمنى أن يتاح لنا فى المستقبل القريب بحث الموضوع الحياة الإجتماعية عند الصوفية المسلمين لنتعرف على وجهة نظر المحققين منهم فى هذا الموضوع.
ونعود الآن إلى إقتباسات هذا الكاتب من أقوال الصوفية المسلمين, حيث يعقب عليها بقوله : ( ولقد بوب الصوفية فى كتبهم أبوابا مستقلة فى مدح العزوبة وذم التزويج , وهذا الأمر لا يحتاج الى بيان أنه لم يأخذه المتصوفة إلا من رهبان النصارى ونساك المسيحية الذين ألزمو أنفسهم التبتل خلافا لفطرة الله التى فطر الناس عليها , تقليدا لهم وأتباعا لسنتهم, وإقتداء لمسالكهم ومشاربهم مخالفين أو امر الله تعلى و آوامر رسوله ) .
ثم يسوق بعض نصوص الإنجيل ليثبت للنقل واتأثير – من وجهة نظره -- , فينقل عن المسيح قوله : ( ويوجد خصيان خصو أنفسهم لأجل ملكوت السماوات , من استطاع أن يقبل فليقبل ) كما ينقل نصا آخر جاء فيه : ( وأم من جهة الأمور التى كتبتم عنها فحسن للرجل أن لا يمس إمرأة) .
ويختار الباحث نموذجا سلوكيا آخر يرتبط بقضية اللباس فيحكم حكما صريحا بأخذ الصوفية المسلمين عن رهبان النصارى , وفى ذلك يقول : ( وأما إلتزام الصوفية لبس الصوفية لكونه شعارا وعلامة لهم فأيضا مأخوذ من الرهبنة المسيحية لأنهم كان زيهم الخص بهم) .
وقد إعتمد على بعض الأقوال النقدية المباشرة التى لم يقصد منها قائلوها ما استخرجه منها من نتائج , ومن ذلك مانقله عن إبن الجوزى الذى أورد رواية جاء فيها : ( قدم حماد بن سلمة البصرة فجاءه فرقد السبخى وعليه ثوب صوف , فقال له حماد : ضع عنك نصانيتك هذا ..)
كما ينقل عن السهروردى قوله : ( كان عيسى عليه السلام يلبس الصوف , ويأكل من الشجرة , ويبيت حيث أمسى) .
وقد سبققه المستشرقون إلى القول بذلك منهم : نولدكه و نيكلسون ومسينيون وجولد تسهبر.
ويتساءل الدكتور طلعت غنام قائلا : ( لماذ يقصر الباحثون أنظارهم على حياة المسيح وأقواله , والرهبان وأحوالهم حين يحاولون ربط الصوفية بالمصادر النصرانية ؟!
ولم لا يجوز أن يكون هذا التصوف أيضا كان مسايرة لطبيعة الحياة العربية الجاهلية ؟! , وقد كانت وقتئذ الحياة الخشنة لاحظ لها من ترف , ولا أثر فيها لنعومة , بحيث يمكن أن يقال : إن حياة الزهاد الصوفية فى الإسلام إنما هى إستمرار لهذه الحياة الخشنة البعيدة عن الزخرف والنعيم , والتى كان يحياها العرب الجاهلون بصفة العامة) .
ولم يعجب هذ التساؤل الباحث إحسان إلهى ظهير , بل هاجم تناول الدكتور طلعت غنام لقضية المصدر النصرانى هجوما ضاريا خلامن روح البحث العلمى , وتخلى عن الحيدة والإنصاف, فقام بنقل ما أورده الدكور غنام فهذ البحث وقدم لهذا النقل بقوله : ( والجدير بالذكر , ومن الأشياء اللافتة للأنظار أن كل من حاول تبرئة التصوف عن كونه مأخوذا ومقتبسا من رهبنة المسيحية لم يسأه الإنكار عن كون المسيحية إحدى المصادر الصوف , وأنه إستفاد منها ولو أنهم أصرو مع ذلك على كونه إسلاميا بحتا معارضين مع ما قالوه , ومناقضين مع ما أثبتوه, مقرين عليهم بالتعارض الفكرى, والتضارب لقول , وإنكار ما هو ثابت لايمكن رده ولا إنكاره , فيقول واحد من هؤلاء , ولا حظ الزحزدة الفكرية , والتناقض الشديد, والتعارض الغريب , والعجز الظاهر عن الدفاع,وضعف القوة وقاة الحيلة , مع الإنكار والإكرار فى وقت واحد, لاحظ, وإقرأ وإستمع , فيقول احد الكتاب ــ وهو دكتور فى العلوم ــ ردا على من يجعل النصرانية إحدى مصادر التصوف) .
ويقصد هذا الباحث بأقواله تلك الدكتور طلعت غنام ويعرف القارئ به بأنه الدكتور فى العلوم علما بأنه أستاذ العقيدة والفلسفة بجامعة الأزهر كما أنه لم يكون من المتحيزين للتصوف الإسلامى والمدافعين عنه , بل على العكس من ذلك قام بالكتابة من خلال الاعتماد على منهج تحليلى نقدى ويتضح ذلك من خلال عرضه وصياغته للقضايا التى ختارها فى هذا الكتاب,ويكفى أن نورد هذه الفقرة التى ختم بها حديثه فى قضية المصادر إذ يقول : ( وهكذا بعد هذا البحث الموضوعى الموثق من المراجع العلمية القيقة لا يمكن أن يشك أحد فى هذا العلم ومصادره وأنها أجنبية مستوردة دخيلة على الإسلام , والإسلام منها براء ) .
وهكذا فإن الدكتور غنا يلتقى فى النتائج مع الأستاذ ظهير , مما يؤكد أنه يرى تماما من هذه التهم التى وجهها إليه الأخير , ويحق لنا أن نتساءل عن السبب فى تطاول هذا الباحث على الدكتور غنام : هل قرأ له ولم يفهم ؟! وخصوصا إذا علمنا أن لغته الأولى ليست هى العربية , أم أنه كان يقرأ قراءة انتقائية ناقصة ؟! .
ويبدو أن هذا الباحث قد أخذ على عاتقه مهمة التطاول على من يتوهم أنهم يخالفون الرأى, وآلى على نفسه أن يقوم بتجريهم بحق وبدون وجه حق , ويبدو ذلك من خلال عباراته وإطلاقه العمة , وولوعه بعض تركيبات اللغوية التى يفتعلها افتعالا مثل : التعارض الفكرى ــ التضارب القولى ــ الزحزحة الفكرى ــ التناقض الشديد ــ التعارض الغريب ــ العجز الظاهر عن الدفاع ــ ضعف القوة وقلة الحيلةــالإنكار و الإقرار فى وقت واحد, وقد لاحظت ذلك عليه من خلال مطالعاتى من لكثير من مؤلفاته , من ذلك مثلا تهكم بالإمام الأكبر الراحل الدكتور عبد الحليم محمود و فى ذلك يقول : ( قال الشيخ الأزهر السابق نقلا عن سيده أحمد الدخدير أنه قال : ( فالآداب تطلب من المريد فى حق شيخه أوجبها تعظيمه و توقيره ظاهرا و باطنا , وعدم الاعتراض عليه فى أى شيئ فعله , ولو كان ظاهره أنه الحرام , ويؤول ما انيهم عليه....) فهل هناك ضلال بعد هذا الضلال , وتسفيه العقول بعد هذا كله ؟ ومن رجل جعل شيخا لأكبر جامعة إسلامية وأقدمها فى العالم) ولن نحاول الدخول معه فى معركة جانبيه تخرجنا من مواصلة عرض قضية.

ثانيا : الشيعة :
من مصادر التى اتهم التصوف الإسلامى بالأخذ عمها الفكر الشيعى , ويتحدث أستاذنا المرحوم الدكتور أمد محمد مصطفى عن التشيع قائلا : ( ربما لم يكن من المبالغة القول بأن التشيع كان أخطر قضية وجهها الإسلام على طول التاريخ , ولم يكن ذلك قاصرا على الناحية السياسية والحزبية , فإنه وإن إبتدأ بداية السياسة محضة فما لبث أن تطور الى قضايا عقيدية إعتقنتها اتجاهات متنوعة وسمت بالباطنية على وجه العموم, وابتلعت فى جوفها كل الوان الغنوص : الهندية والفارسية ....الخ ) ونستطيع رصد أهم القضاياألتى اتهم التصوف بأخذها عن التشيع فيما يلى :
- فكرة إنقطاع التكليف بدعو الوصول الى الحقيقة .
- فكرة التنظيم الصوفى من أقطاب و أبدال وغير ذلك .
- فكرة إحتواء القرآن على معنى ظاهر ومعنى باطن .
فبا لنسبة للفكرة الأولى عند الشيعة نقرأ لأحد أئمتهم قوله : ( من عرف الباطن فقد سقط عنه عمل الظاهر , ورفعت عنه الأغلال والأصفاد وإقامة الظاهر ) .
وقد اشترك بعض الضالين من الصوفية فى هذا القول من الشيعة , وفى ذلك يقول القشيرى عنهم (...وارتحل عن القلوب حرمة الشريعة فعدوا قلة المبالات بالدين أوثق ذريعة , ورفضو التمييز بين الحلال والحرام ,ودانو بترك الإحترام وطرح الاحتشام , واستخفوا بأداء العبادات , واستهانو بالصوم والصلاة , وركضوا فى الميدان الغفلات , وركنوا الى اتباع الشهوات....الخ ) .
أما الفكرة الثانية , وهى التنظيم الصوفية من أقطاب و أبدال , فيذكر ابن تيمية أخذ الصوفية المسلمين لها عن الشيعة : ( وأما الأسماء الدائرة على ألسنة كثير من النساك والعامة من الغوث الذى يكون بمكة , والأتاد الأبعة , والأقطاب السبعة , والأبدال الأربعين , والنجباء الثلاثمائة.
فهذه الأسماء الأسماء ليست موجودة فى كتاب الله ولا هى أيضا مأثورة عن النبى لا بإسناد الصحيح , ولا ضعيف محتمل الا لفظ الأبدال فقد روى فيهم حديث منقطع الإسناد عن على إبن ابى طالب مرفوعا إلى النبى أنه قال : ( إن فيهم ــ يعنى أهل الشام ــالأبدال أربعين رجلا , كلما مات رجل أبدل الله مكانه رجلا ) ولا تةجد هذه الأسماء فى كلام السلف كما هى على هذا الترتيب ...
وهذا من جنس دعوى الرافضة أنه لابد من كل زمان من إمام المعصوم يكون حجة الله على المكلفين لا يتم الإيمان الا به ...)
وأما فكرة الثالثة وهى إحتواء القرآن الكريم على ظاهر و باطن التى تشابهت بين الصوفية والشيعة , والتى حكم من التشابه على أخذ الصوفية من الشيعة .
والقول الظاهر والباطن من أهم ما ميز الفكرى الشيعى المتأثر باليهودية بواسطة عبدالله بن سبأ اليهودى المؤسس الحقيقى الأول لديانتهم ومذهبهم ( ثم أخذ المتصوف بدورهم أفكار الشيعة و معتقداتهم , فآمنوا بها واعتقدوها , وجعلوها من الأصول والقواعد للعصابتهم , فقالو مثلا ما قالته الشيعة والفرق الباطنية ).

ثالثا : النحل :
ونقصد بالنحل الت اتهم التصوف الإسلامى بالأخذ عنها الأفكار والممارسات البشرية الموجودة فى البيئة الهندية أو الفارسية , ونورد فى السطور الآتية الأسباب التى دعت الباحثين للحكم على التصوف الإسلامى بأن جذوره هندية أو الفارسية .

أ‌- النحل الهندية :
تجدرالإشارة فى بداية هذه الفقرة الى حديث الدكتور محمد غلاب عن التناسك الهمدى فى أصوله النظرية ومسالكه الملية , زكبار شخصياته ثم قيامه بعقد موازنة طيبة بين النقاط الأساسية فى التنسكين : الإسلامى والهندى , إلا أن دكتور غلاب نجا مما وقع فيه غيره من إصدار الأحكام الخاطعة التى ترد التصوف الإسلامى إلى هذا مصدر أو ذاك من المصادر الأجنبية التى لا تتمنى إلى الإسلام, ولا تصدر عنه , وقد صنع ذلك مثلا الباحث إحسان إلهى ظهير الذ أصدر ــ كعادته ــ حكما عاما يقول فيه :
(و أما كون التصوف و تعاليمه وفلسفته , أوؤاده و أذكاره , وطرق الوصول الى المعرفة , والمؤدية إلى الفناء مأخوذة مستقاة من المذاهب الهندية والمناوية والزرادشتية أيضا فلا ينكرها منكرا, ولا يردها احد ولا يشك فيها الشاك , بل إن كبار الكتاب عن التصوف والباحثين فيه من المستشرقين و المسلمين , حتى الصوفية أقرأو بذلك حيث لم يسعهم الإعتراف بهذه الحقيقة الظاهرة اجلية التى لايمكن تجاهلها ولا إغفالها ألبتة ) .
وقد حكم بعض المستشرقين ومن شايعهم من الباحثين المسلمين برد التصوف الإسلامى إلى منابع هندية , فقد عدد ( جلدتسيهر) فى هاذا الصدد الملاحظات المتعلقة بالمنهج التصفية والحلول والإتحاد و أوجه التشابه بين ( النرفان الهندية ) و ( الفناء الصوفية) ).
ويلخص أستاذنا محمد أحمد مصطفى جهود الباحثين حول هذه القضية فيقول : ( وإلى هذا ذهب أيضا كثرة من المستشر قين من أمثالا ( ثولك) فى كتابه ( التصوف و وحدة الوجود ) , و(فون كريمر ) فى ( تاريخ الأفكار البارزة فى الإسلام ) , وفيه يرى العنصر الهندى بارز لدى الصوفيين الشاهيرين : الحارث المحاسبى , و( ذى النون المصرى ) و ( دوزى) فى بحثه : ( مقال عن تاريخ الإتجاه الإسلامى ) وفيه يرى التصوف آتيا من الهند عن طريق فارس و حيث سادت فكرة صدور كل شئ عن الله ورجوعه وأن العالم لا وجود له من ذاته , فالموجد بحق هو الله , و ( براون) فى بحثيه : ( عام بين الفارسين ), ( وتاريخ الفرس الأدبى ),( وماكس هورتن) فى مقاله : ( فى أصل التصوف) وفيه يرى رجوع التصوف الإسلامى إلى الفلسفة الهندية عن طريق ( ميترا) و (مانى) فالمسلمون نفسهم يعترفون بذلك بالإضافة الى مظاهر عملية ونفسية أخرى, مثل : الرضا, واستعمال المخلاة , والسبح.
ويقدم ( نيكلسون ) دليلا آخر على الارتباك الاستشراقى إذ يرى سيادة الفلسفة الهندية فى الناحية العملية , ثم يتحول الى أفكار ( فون كريمر) و أمثاله فى رجوع التصوف غلى أصل هندى فارسى وخاصة فى وحدة الوجود ,ثم يرى آخرا رجوعه إلى أصل الإسلامى.
وقد تابع المستشرقين معظم الباحثين العرب والمسلمين ولا تخرج آراؤهموأدلتهم عن تلك الآراء والأدلة : ونشير منهم الى ( النيال) فى كتابه : ( الحقيقة التاريخية للتصوف الإسلامى ) و الدكتور ( قاسم غنى ) فى : ( تاريخ التصوف ف الإسلام) و الدكتور ( عبد القادر محمود ) فى كتابه ( الفلسفة الصوفية فى الإسلام) .
ولكننى عثرت على وجهة نظر مضادة , وهى للمستشرق جفرى بارندرالذى حاكم بتأثير التصوف الإسلامى فى الفكرى الهندوسى وليس العكس , بل إت الصوفية المسلمين كانوا من أهم العوامل التى جعلت أكثر من خمس يكان شبه القارة الهندية يعتنقون الإسلام , ونفى نفيا قاطعا أن يكون للحكام المسلمين الجدد أى دور لإخضاع سكان البلاد الأصليين لاعتناق الإسلام وفى ذلك يقول (....فالحكام المسلمون لم يفكروا قط فى وضع خطة لتحويل عقيدة السكان إلى الإسلام , ولم يهتموا بتشجيعه, رغم أنهم أعطو أنفسهم ما يبرر تخريب المعابد , وقمع التمرد بحجة تحطيم الأوثان القديمة , ونشر العقيدة الإسلامية.
ولا بد أت يكون التحول إلى الدين الجديد قد جاء من مصدر آخر مختلف أتم الاختلاف , وأعنى به فارس أو الشيوخ جابوا الريف مبشرين بديانة الحب الصوفى لله و للبشر, و أقاموا صوامع أو خلوات مفتوحة لجميع طبقات المجتمع للعبادة الجماعية والتأمل الصوفى , ولقد ضربت الصوفية على كثير من الأوتار الحساسة عند الهندوسية , لاسيما حركة ( بختى) ( محبة الله ) فى المذهب الفشنية على ضرورة وجود مرشد والانصياع له والإقتراب من الله عن طريق الحب
.والإعتماد على النعمة الإلهية , وأهمية الإستغراق فى التأمل , ومراحل الطريق للإتحاد مع الله , وفى الأماكن التى لم يتم فيها التحول الدينى ( إلى الدين الجديد وهو الإسلام ) أثر شيوع الأفكار الإسلامية ورواجها بقوة والأ فكار الإسلامية ورواجها بقوة فى الفكر الهندوسية من خلال الصوفية ) .
إذن نحن أمام وجهتى نظر متعارضتين فبأيتهما نأخذ ؟ أنأخذ بالتى ردت التصوف إلى جذور النحل الهندية ؟ , أم نأخذ بتلك جعلت التصوف الإسلامى قائما بدور ملحوظ فى نشر الإسلام فى شبه القارة الهندية ؟ وجعلته ذا تأثير من النحل الموجودة فى البيئة الهندية.
ولن نتسرع بقبول هذه ورفض تلك أو العكس , بل سنرجى ء الحديث ليكون الرد أشمل بعد الإيراد كل التهم عندما يتم النظر إليها من منظور التأثير و التأثر فى الثقافة الإنسانية على وجه العموم.

( ب) انحل الفارسية :

من المقطوع به تاريخيا أن أنوار الدين الإسلامى وصلت الى بلاد الفرس فى عهد الفتوحات الإسلامية, ومن هنا دخخل سكان البلادى الأصليون فى دين الله أفواجا, ومن هنا التقى الإسلام وعقائده وتعالميه بالأفكار والممارسات السلوكية الموجودة فى البيئة الفارسية , وهذا التلاقى هو أول الأسباب التى جعلت الباحثين يحكمون بالجذور الفارسية للتصوف الإسلامى , ويرون السبب الثانى هو وجود طائفة من شيوخ التصوف البارزين فى الفرس. ( ولقد كان الأثر الفارسى والثقافات الفارسية واضحا فى الثقافات الإسلامية وخاصة المترجمة منها وبنوع خاص فى العصر العباسى , فلقد كان ذلك العصر حافلا بكثير من حملة العلم وأصحاب النحو وأهل الحديث والتفسير والمتكلمين , وغيرهم من الصفوة الممتازة الذين كان سوادهم الأعظم فرسا عاشو ا فى ظل الإسلام , بالإضافة إلى قوة الصلات الاجتماعية و السياسة بين الفرس و المسلمين التى كانت سائدة آنذاك )
فإذا عدنل إلى السمات الخاصة بالثقافة الفارسية وجدنا أنهم بقدسون بعض عناصر الطبيعية , بينما الخاصة منهم يجعلون معبودهم ( ميترا ) أو ( أهورا مازدا) , وظلو على العقائد حتى جاء ( زرادشت) الذى ركز على فكرة الخلاص النفس , ويخرج من مرحلة الآلهة المتعددة أو المحلية الى وصف ( أمورا مازدا ) بأنه إله الكون كله , وليس له خصم سوى ( أهرمن) .
وقد دار جدل كبير حول هذا الثنائية إلى أن أعلن فريق من رجال الدين أن ( أهرمن) ليس خصما للإله الأعلى , ولكنه مقابل ( روح القدس فى مازدا) والفكرة لها علاقتها بالإنسان ألول عند الفرس كما لها مشابهاتها عند الصوفية المسلمين , وخاصة فيما يتعلق بالإنسان الأول والإنسان الكامل.
ثم جاء مانى الذى يعد مذهبه عند الباحثين مزيحا من حاته النفسية المتشائمة المتنسكة, والزرادشتية , والبراهمية , والمسيحية قبل سيادة المجامع وقوانينها الكنسية, وأهم ما يسترعى الإنتباه فى مذهبه : تصويره النشأة العالم تصويرا هنديا أى فى مذهب الصدور, وثنوية الخير و الشر المفرطة, فلم تكن بهذه الحدة عند سلفه زرادشت, كما تعتبر فكرته عن الإنسان الأول تمثيلا للصراع حول هذين المبدأين , وكان أكثر تشاؤما من زرا دشت حين رأى وجوب التخلصمن قيود الجسم وإبادة العنصر البشر بواسطة حظر الزواج, وغير ذلك من الوسائل.
ومن أشهر العقائد الفارسية اليى اتهم التصوف الإسلامى بالأخذ عنها : القول بالرجعة , والتناسخ , ودعوى الألوهية , والإمام المعصوم , والحقيقة المحمدية , والحلول , وتقديس البشر , مع الأخذ بعين الإعتبار أن كثيرا من الفرس رغم اعتناقهم الإسلام ظلوا متمسكين بآرائهم القديمة , وكانو مستعدين لعبادة الخليفة كعبادتهم لملوكهم من قبل.
وتاقوا الى أمير مؤوله , وقامت فعلا محاولة لتأليه الخليفة قامت بها فرقة متعصبة ذات أصول فارسية عرفت بالروندية , وشقت عصا لطاعة عندما رفض الخليفة المنصور أن يعامل كإله, ورما بقادتهم فى غياهب السجون .
تلك الأفكار والبدع التى شاعت منذ بداية الدولة العباسية بدأت تتسرب إلى مذاهب الشيعة المتطرفة التى ذهبت الى تقديس ابناء على, وترى أن نفحة إلهية مقدسة تحل فى الأئمة.
وكانت المجوسية هى أهم عقائد الفرس التى أرادوا إحيائها وإلى جانبها المزديكية والمانوية , كذلك إنتشر الغنوص القائل بثنوية المبادئ : الخير والشر, أو النور والظلام, وازدادت شعوذات الفرس وعقائدهم اللاعقلانية .
( وقد سرت المانوية إلى عقاد الفرس والمسيحية والإسلام إذ تأثر بها بعض المفكرين , ويقال : إن الحلاج قد تأثر بالغنوصية , وقد إنتهى أمره بأن حكم عليه بالقتل ...)
وتجدر الإشارة هنا إلى قيام الدكتور إبراهم الدسوقى شتا المتخصص فى الدراسات الفارسية برصد أوجه التلاقى والتبادل بين التصوف الإسلامى والفكر الموجود على الساحة الفارسية بما فيه التصوف, وقد ارتأى الدكتور شتا أن التصوف الإسلامى فى فارس كان له روافد عدة منها : النحل الهندية, والأفلاطونية المحدثة , والزرادشتية , والمناوية . وبعد تفصيل القول فى ذلك عقب قائلا : ( وإلى جوار هذا التراث ــ وبسيطرة أشد ــ كان الإسلام , فهو المنطلق الرئيس والبوتقة التى تفاعلت فيها كل هذه الأفكار , والإطار الذى ضمها وألف بينها , وحورها ومنحها الروح فالعارف مسلم وموحد قبل كل شيئ , ولم يكن من المسطاع أن يحط العارف من قدر الشريعة أو يتجاهلها) .
رابعا : الفلسفة :
فى هذه الفقرة تناول أهم السمات الفلسفية التى اتهم التصوف الإسلامى بالأخذ عنها , ونلتزم فى إيراد ها بالترتيب التاريخى فنعرض أولا للفلسفة اليونانية , ثم نثنى بالأفلاطونية المحدثة.
(أ‌) الفلسفة اليونانية :
انتقل الفكر اليونانى القديم الى الجو اإسلامى فى عصر الترجمة , وتعرف المسلمون على المدارس الفلسفية اليونانية من الأيونية والإيلية والفيثا غورية والسوفستائية , وفلاسفة اليونانية الكبار : سقراط ــ أرسطوــ أفلاطون.
ونقصر حديثا فى هذا الفقرة عن بعض الأمور التى تلمسها الباحثون وحكمو ا من خلالها عن التصوف الإسلامى بأنه ذو جذور فلسفية يونانية , ومن ذلك : السلوك العملى لسقراط الذى صدر فيه عن الشهار الفلسفى الشهير الذى وجده على جدران المعبد دلفى , وهو : أعرف نفسك بنفسك , الذى عبر عنه هذل الحديث الذى راج فى الوسط الصوفى : ( من عرف نفسه , عرف ربه ) , ورغم أنه غير صحيح ألا أن معناه قد يكون مقبولا على ضوء قول الحق تبارك وتعالى : ( وفى أنفسكم أفلا تبصرون) .
و أفلاطون الذى كان له تأثيره البالغ فى الفكر الإسلامى سواء فى التيار الكلامى عند المععتزلة , أو التيار الفلسفى الكندى والفارابى و إبن سينا وغيرهم , والتسار الأخلاقى عند إبن مسكويه, والتيار الصوفى الإسلامى وخاصة لدى ( إبن مسرة) و ( إبن عربى) و( إبن سبعين ) و( التسترى) ) وغيرهم , وخاصة فى أفكار : طريق المعرفة , و المثل.
ويحذر أستاذنا المرحوم الدكتور محمد أحمد مصطفى من نقطة هامة خاصة بالفكر الأفلاطونية فيقول ( وينبغى الحذر من الخاط بين الألاطون الحقيقى والمزيف فقد وصل الى المسلمين تحت أثواب متعددة مختلطا بمذاهب أخرى ومن أبرزها ( الأفلاطونية المحدثة)
كما يدافع عن التيار الصوفى الإسلامى محاولا إيجاد مبررات لإبطال القول بتأثره بالفكر الأفلاطونى فيقول عن الأفكار المتشابهة بين التصوف و فلسفة افلاطونية: ( يمكن أن يكون للصوفية فى بعضها مستند كالقول بنظرية المعرفة وأنها تذكر , وللكن لم يقولوا ــ مطلقا ــ بالمثل , فعلى الرغم من القول بأزلية الممكنات فى العلم الإلهى إلا أنها ظلت دائما جزئية لا كلية كما هى عند أفلاطون.
أضف إلى ذلك أنهم تجنبوا خلط النصوص الأفلاطونية , أو على الأقل تفسيراتها بين المثل والحق , ولم يبلغ بهم القول بالنظرية إلى القول بالنتائج كما فعل أفلاطون)
وقداتهم التصوف الإسلامى ــ كذلك ــ بالأخذ عن الفلسفة الفيثاغورية , ومن عقائدها : التوحيد عن طريق العدد , والتناسخ, واتصال النفس بالبدن , وخلود النفس بالبدن , وخلود النفس , وأزليتها , وخلاصها بالتطهر.
ومنهجها فى السلوك ينبغى على : الزهد والتنزه عن بعض الشهوات , وإعتمدت فى وسائل التصفية النفسية على أمرين : علم الرياضة , وعلم الموسيقا.
وقد كان من الواضح تأثير الرواقية فى الفكر الإسلامى فى التيار الفلسفى عند الكندى و إبن سينا , وفى التيار الكلامى عند الشيوخ المعتزلة كالجاحظ و النظام , وبعض الأشعرية كا لباقلانى والجوينى .
وقد أضف بعض تأثير التيار الصوفى بالتزمت الخلقى الرواقى, ونظريات الكلمة أو النور المحمدى والتجسيم , وخاصة بعد الدراستين الهامتين اللتين قام بيهما كل من : الدكتور سامى النشار , والدكتور عثمان أمين فى دراسته الفلسفة الرواقية.

( ب) الأفلاطونية المحدثة :
يلاحظ الباحثون من مستشرقين و غير مستشرقين تسرب بعض أفكار الأفلاطونية المحدثة إلى التصوف الإسلامى.
ويصرح الدطتور أبو وفا التفتازانى بأنه ( ليس من شك من فلسفة أفلوطين السكندرى التى تعتبر أن المعرفة مدركة بالمشاهدة فى الحال الغيبة عن النفس وعن العلم المحسوس كان لها أثرها فى التصوف الإسلامى فيما نجده من كلام متفلسفى الصوفية عن المعرفة, وكذالك كان لنظرية أفلوطين السكندرى فى الفيض , وترتب الموجودات عن الواحد أو الأول أثرها على الصوفية المتفلسفين من أصحاب الوحدة كالسهروردى المقتول, و محي الدين إبن عربى, و ابن الفارض, وعبد الحق بن سبعين , وعبد الكريم الجيلى , ومن نحا نحوهم) .
وفى هذه السطور نرى النظرة النقدية للدكتور التفتازانى , وهو من صوفى العصر الكبار بل كان شيخ شيوخهم عليه رحمة الله, ولم يمنعه ذلك من تناول قضية المصادر بهذا المنهج النقدى.
وبذكر الدكتور قاسم غانى بعض النماذج الأفلاطونية الحديثة التى شقت طريقها الى التصوف الإسلامى , وفى ذلك يقول ( إن طريق الوصول الى المبدأ الحصول على التمتع الأبدى, وهو تطهير النفس السفلية عن طريق التجرد من الشهوات الجسمنية , والميول الحسية, وممارسة الفضائل الأربع , وهى العفة, والعدل , والشجاعة, الحكمة, هذه نماذج من آراء الفلسفة الأفلاطونية الحديثة التى وفق المسلمون بينها وبين الشرع الإسلامى , ولهذا الغرض حذفوا منها أشياء, وزادوا عليها أشياء, وسموها ( حكمة الإشراق ).
وقد أثر فى التصف والعرفان ذيوع آراء أفلاطون , وظهور الفلسفة الأفلاطونية الحديثة بين المسلمين أكثر من أى شيئ , وبعبارة الأخرى : أحرز التصوف الذى كان الى ذلك الحين زهدا عمليا أساسا نظريا و علميا.
وإذ دققنا فى آراء الأفلاطونية الحديثة وجدنا أن الصوفى الذاهد الذى غض الطرف عن الدنيا وما فيها يحكم أنها فانية, وتعلق خاطره بما هو خالد يشعر بالذة فى فلسفة أفلوطين , بل يحصل على منتهى غايته فى تلك الآراء, وموضوع وحدة الوجود فى الفلسفة الأفلاطونية الحديثة جذب أنظار الصوفية أكثر من أى شيئ آخرلأن الذين يؤمنون بهذه العقيدة يرون أن العالم كله مرآة لقدرة الحق الله تعالى , وكل موجود بمثابة مرآة تتجلى فى ذات الله فيها أن المرايا كلها ظاهرة, والوجود المطلق والموجود الحقيقى هو الله , وينبغى على الإنسان أن يسعى حتى يمزق الحجب , ويجعل نفسه محلا لتجلى جمال الحق الكامل ويبلغ السعادة الأبدية. .
وقد أدلى بدلوله فى هذه القضية على سبيل المثال من المستشرقين ( نيكلسون) فى كتابه ( التصف الإسلام و تاريخه ) وفصل القول فيها من الباحثين الدكتور ( عبد القادر محمود ) فى كتابه ( الفلسفة الصوفية فى الإسلام ) و الدكتور ( طلعت غنام) فى كتابه ( أضواء على التصوف ) و الدكتور ( صابر طعيمة) فى كتابه ( الصوفية : معتقدا ومسلكا) و الدكتور ( محمد مصطفى ) فى كتابه القيم ( علم التصوف ) وغيرها .
ويعترف أستاذنا المرحوم الدكتور محمد أحمد مصطفى بوجود نوع من التلاقى الفكرى بين الأفلاطونية الحديثة وبين التصف الإسلامى إلا أنه يذكر جوار ذلك الفروق الأساسية فيما بينهما , وفى ذلك يقول عليه رحمة الله : ( وعلى الرغم من وجود مناظرات لأفكار هذه المدرسة فى التصوف الإسلامى , فإنه يفتقر وإياها فى طريق المعرفة , وفى قضاياها.
فى طريق المعرفة : فى أنه عند الصوفية إسلامى اتباعه.
وفى القضايا : لأن الإشراق ليس فى الحقيقة سوى الإلهام الإسلامى المباشر.
والتوازى بين العوالم لا يبلغ الى القول بالمثل كما تمثلت عندهم وعند أفلاطون , وقد أشرنا الى إختلافهم فى نظرية الصدور مما يبعدهم عن الشبهة الوثنية والتأليه لغير الحق.
أما فيما يتعلق بعلو الحق فإنه يتجاهل جمع الصوفية بين النفى والإثبات فى الصفات , فلم يقلعو الصلة بين الحق و صفاته كما فعل المعتزلة و الفلاسفة , ولم يغلوا مرحلة الشبيه و التجسيم بإثباتهاز) .

- تعقيب على الآراء التى ردت التصوف الإسلامى الى مصادر الأجنبية.
إنتهينا فى الفقرة السابقة من عرض بعض الأفكار النظرية والممارسات العملية التى رأى الباحثون فى التصوف الإسلامى أن لها أشباها ونظائر فى اليهودية و النصرانية , وعند الشيعة , وفى النحل الهندية والفارسية, وفى الفكر الفلسفى عند اليونان , و فى الأفلاطونية المحدثة , مما جعلهم يحكمون برد التصوف الإسلامى لهذا المصدر أو ذاك من المصادر السابقة.
والقضية بهذا الشكل من التناول تنطوى على إفتقاد للمنهج العلمى السليم الذى يضع الأمير فى نصابها , فلا يحكم بأخذ اللاحق عن السابق الا بعد العثور على أدلة تقترب من اليقين اقترابا واضحا , ومن ناحية أخرى فإن هذا التناول ينبغى على انعدام النظرة الموضوعية التى لا تبتغى سوى إصابة الحق وحده دون أن تتلون بثقافة معينة , أو تصدر عن هوى شخصى , وما شابه ذلك.
إن قضية المصادر فى التصوف الإسلامى ترتبط إرتباطا وثيقا بقضية التأثير و التأثر فى الثقافة الإنسانية على الوجه العموم , وقد كان لروادنا عطاء طيب فى هذه النقطة , لنقرأ ما كتبوه المرحوم الدكتور غلاب فى هذا الموضوع فى مقدمة كتابه القيم : التنسك الإسلامى : ( بقيت نقكة أخيرة نود أن نشير إليها قبل الانتهاء من هذه المقدمة , وهى ما نشاهده من هيام بعض الكتاب بمحاولة إثبات المحاكاة والتقليد بين كل إنتاجين متشابهين , وهى لوثة بغيضة لامسوغ لها ألبتة , لأن الفطر السليمة, و الطرق المستقيمة , والأنهاج القويمة تلتقى كلها تحت سماء الحقيقة العليا متعانقة مترابطة لا مباينة بينها لا تعارض , وأنه كثير ما توجد أوجه شبه متماثلة أشد التماثل دون أن يكون هناك أدنى أثر للاستعارة أو المحاكاة , وإنما هى ( فطرة الله التى فطر الناس عليها ).
ويتفق أستاذنا الدكتور محمود حمدى الزقزوق مع وجهة نظر دكتور غلاب تلك , ويتقاسمها معه ولكنه يتميز بهدوء النبرة بالمقارنة مع حدة الدكتور غلاب الواضحة فى النص السابق , وفى ذلك يقول الدكتور زقزوق : ( وهكذا فإنه إذا كان التصوف فطرة بشرية , وظاهرة إنسانية عامة فليس هنلك مبرر على إطلاق لمحاولة البحث عن جذور التصوف الإسلامى فى غير الإسلام , وذلك بالبحث عن هذه الجذور فى التصوف الهندى أو الفارسى أو المسيحى , أو غير ذلك من نزعات روحية لدى شعوب أخرى, فلم تختص الأمم دون غيرها بهذا الجانب الروحى الملتصق بالإنسان أينما كان و أنى كان) .
فالتصوف يمثل نزعة إنسانية عامة يمكن القول بأنها ظهرت فى كل الحضرات البشرية على نحو من الأنحاء , وقد أفصحت فيه الروح عن أشواقها العميقة فى التطهر, والاستعلاء على كثافة المادة, و التطلع الى تحقيق مستوى أعلى من الكمال.
و يستطيع الدارسون للتصوف المقارن أن يضع أيديهم على بعض النقاط والمسائل المشتركة, التى لا تكاد يخلو منها النظام صوفى, ولكنهم يستطيعون ــ كذلك ــ أن يتلمس بعض المسائل المتميزة بسبب ما يحيط با لتصوف من مؤثرات وملابسات تتعلق بمصادر التوجيه الروحى, أو بظروف الواقع الاجتماعى , أو تتصل بما أوضع الله تعالى فى النفس الإنسانية من المواهب و الملكات والخصائص. .
والدارسون الذين قامو بالبحث فى التصوف الإسلامى حاول نفر مفهم رد التصوف الإسلامى الى بعض المصادر الأجنبية كما سبقت الإشارة إلى ذلك , ولكنهم للأسف حاول كل منهم العودة بالتصوف الى مصدر يرتبط بنوع ثقافته الخاصة, والدكتور عبد الميد مدكور وجهة نظر جديرة بالاعتبار حول هذه النقطة يقول فيها : ( يلاحظ أن أكثر الآراء قيلت لتفسير نشأة التصوف بمصادر أجنبية قد لجأت إلى تفسيره بمصدر واحد كان يختلف باختلاف ثقافة الدارسين , فالدارس الثقافة الهندية كان يرجع التصوف إليها , والمطلع على الثقافة اليونانية كان يجعله صورة منها , وأثرا من آثارها , وكذلك من يفعل من له صلة بدراسة التصوف المسيحى أو الفارسى وهكذا.
ويترتب على هذا التفسير بمصدر واحد أننا نجد شيئا واحدا ــ وهو التصوف ــ قد فسر المتصوف بمصدر متعارضة يلغى بعضها بعضا , كما يترتب عليه ــ أيضا ــ أن صاحب يعجز عن تفسير ظواهر أخرى لا يمكن تفسيرها بالمصدر الذى إختاره) .
ومن هنا تبين لنا أن تفسير نشأة التصوف بمصدر أجنبى واحد لا يتفق مع الحقيقة ولا يقترب منها , بل يحتاج الى منهج يتسم بالدقة و التحديد, وقد رفض كثير من الباحثين رد التصوف الى مصدر أجنبى واحد رغم ميلهم الواضح , وإعتقادهم أن التصوف دخيل على الإسلام مثلما صنع الدكتور طلعت غنام مع المصدر الفارسى الذى يذهب بعض الدارسين الى رد التصوف الإسلامى أليه , وفى ذلك يقول : ( أما أن التصوف الإسلامى مستمد من أصل فارسى لأن فريقا كبيرا من شيوخ الصوفية كان من أصل فارسى فهذا ما يحتاج الى بحث وتدقيقى.
لقد كان كثير من صوفية الفرس آثار ومعالم واضحة فى التصوف الإسلامى لا يمكن أن تمحى من تاريخ الحياة الروحية الإسلامية بصفة عامة وفى تطور التصوف واستحالته الى علم بصفة خاصة.
وذلك أمثال : معروف الكرخى , و أبو يزيد البسطامى غير أنه لايمكن القول بان تطوير الحركة الصوفية و ازدهار الحياة الروحية يرجع الى صوفية الفرس وحدهم , وإنما كان لغيرهم جهود قوية شاركت فى هذا المضمار أمثال أبو سليمان الدارانى من العراق , وأمثال ذو النون المصرى من مصر.
وهذا كله ينتهى بنا إلى أن مصدر التصوف الإسلامى لم يكن فارسيا كله....) .
وقد صرح الدكتور عبد الحميد مدكور بما يتفق مع الدكتور طلعت غنام فى هذه الجزئية , فيقول فى عبارات واضحة ينتقد فيها القائلين بالمصدر الفارسى : ( ذهب بعض الباحثين الى أن التصوف الإسلام يرجع الى المصدر الفارسى, وكان من ادلته على ذلك وجود صلات الإجتماعية و ثقافية و دينية بين الفرس والعرب فى المختلف العصور, كما إستدل بأن فريقا كبيرا من شيوخ التصوف الأفذاذ الذين ظهروا فى عصور التصوف الأولى كانو من الفرس, ولعل هذا التفسير لا يخلو من تعسف , لأن الصلات بين الفرس والعرب لم تكن طريقا له إتجاه واحد يمر فيه التأثير من الفرس إلى العرب فقط, بل كان طريق له إتجاهان يتم بواستطهما التأثير المتبادلة بين الفرس والعرب, ويكفى أن الفرس تأثروا باللغة العربية وعلومها و حضارتها, وقد تأثر العرب بالفرس دون شك, ولكن مقدارها هذا التأثر فى نطاق التصوف لم يكن واسعا الى الحد الذى يدعو إلى أن يكون هذا التأثير هو السبب فى وجود التصوف لدى المسلمين.
ومن الحق أن بعض الصوفية كلنو من الفرس , ولكن كثيرا من الصوفية ــ إن لم يكن أكثرهم ــ كانو من غير الفرس , أى من العرب وغيرهم من الشعوب التى أسهمت فى تكوين الحضارة الإسلامية و علومها و منها التصوف, ويدلنا تاريخ التصوف على أن بعض الصوفية العرب كان لهم تأثير كبير فى صوفية الفرس أنفسهم , ومن أمثالة ذلك محى الدين ابن عربى الذى تأثرت به الشخصيات عديدة من شخصيات التصوف الفارسى.
فالمصدر الفارسى ــ إذن ــ لا يصلح ــ وحده ــ لتفسير نشأةالتصوف فى جملته , وإن صلح لتفسير جانبا منه) .
ومن هنا فإننا فى مسألة التأثير و التأثر يجب الا نكتفى بمجرد التشابه : لأن هذا التشابه قد يرجع ــ أحيانا ــ إلى تشابه السلوك الإنسانى إزاء موقف من المواقف أو المشكلة من المشكلات, ومثل هذا التشابه العفوى ليس له قيمة فى الحكم بالتأثير و التأثر , ولذلك ينبغى البحث عت أدلة أو قرائن تاريخية تدل على الاتصال المباشر أو غير مباشر , بل إن الدقة توجب عدم الاكتفاء بمجرد الإتصال , بل لا بد من التأكد الحقيقى من وجوده , لأن التوافق لا يعنى المطابقة دائما , بل أكثر من ذلك فإن وجود اتصال بطريقة ما لا يدل ــ ضرورة ــ على العنصر المستعار يكتسى هنا أو هناك نفس المعنى , لأن ذلك لا يعنى ــ دائما ــ إلحاقة فى الروح و الاستلهام بمصدر التأثير. .
ورغم ذلك فإننا لا نقول بنفى تأثير السابق فى اللاحق حتى نفى مطلقا, بل إننا وجدنا من بعض الدارسى التصوف الذين لم يقتصروا على دراسته فحسب بل وصل بهم الآمر الى سلوكه عمليا ــ وجدنل منهم ــ جرأة أدت الى الإعتراف بتسرب الأفكار الأجنبية إلى ميدان التصوف الإسلامى , وفى ذلك يقوم المرحوم الدكتور أبو الفا التفتازانى بعد القيامه بالرد على القائلين بأخذ التصف الإسلامى من النصرانية : ( ومع هذا لا تنكر تأثر بعض الصوفية المتفلسفين بالمسيحية على ما نجد عند الحلاج الذى إستخدم فى تصوفه اصطلاحات المسيحية كالكلمة و اللاهوت و الناسوت وما إليها , ولكن هذا لا يظهر الا فى وقت متأخر ( أواخر القرن الثالث الهجرى ) بعد أن كان ذهد الذهاد قد استقر فى القرنين : الأول و الثانى الهجريين, وأصبح دعامة لكل تصوف لاحق.
ولذلك فإن من الإنصاف العلمى القول بأن مذاهب الصوفية فى العلم , ورياضتهم العملية ترد الى مصدر الإسلامى , الا أنه بمرور الوقت , وبالحكم التقاء الأمم , و احتكاك الحضرات تسرب إليها شيئ من المؤثرات المسيحية أو غير المسيحية , فظن بعض المستشرقين خطأ أن الصوفية أخذوا أول ما أخذوا عن المسيحية) .
ثم يفصل المسألة أكثر فيذكر مصادر أخرى غير المصدر النصرانى , فيقول : ( ونحن لا ننكر الأثر اليونانى على التصوف الإسلامى , فقد وصلت الفلسفة اليونانية عامة , والأفلاطونية المحدثة خاصة الى صوفية الإسلام عن طريق الترجمة والنقل , أو الإختلاط مع رهبان النصارى فى الرها و حران , وقد خضع المسلمون ليلطان أرسطو, وإن كانو قد عرفوا فلسفة أرسطو على أنها فلسفة إشراقية لأن عبد المسيح بن ناعمة الحمصى حينما ترجم الكتاب المعروف بـ ( أتوليجيا أرسطو طاليس ) قدمه الى المسلمين على أنه لأرسطو على حين أنه مقتطفات من تسوعات أفلوطين .
وليس من شك فى أن فلسفة أفلوطين السكندرى التى تعتبر أن المعرفة المدركة بالشهادة فى حال الغيبة عن النفس وعن العالم المحسوس كان لها أثرها التصوف الإسلامى فيما نجده من كلام متفلسفى الصوفية عن المعرفة , وكذلك كان لنظرية أفلوطين السكندري فى الفيض وترتب الموجودات عن الواحد أو الأول أثرها على الصوفية المتفلسفين من أصحاب كالوحدة كالسهروردىالمقتول , ومحى الدين بن عربى , وابن الفارض , وعبدالحق بن سبعين , وعبد الكريم الجيلى , ومن نحا نحوهم .
ونلاحظ بعد ذلك أن أولئك المتفلسفة من الصوفية نتيجة اطلاعهم على الفلسفة اليونانية قد اصطنعوا كثيرا من مصطلحات هذه الفلسفة مثل : الكلمة ــ العقل الأول ــ العقل الكلى ــ العلة والمعلول....) .
و الدكتور التفتازانى ــ عليه رحمة الله ــ يشير فى غير موضع الى التصوف الإسلامى فى فترة نشأته , و بو اكيره الأولى , والى صدور المعطيات الإسلامية , ونقاء أصوله من كل دخيل , وهو يتفق فى هذا مع أكثر دارسى اللتصوف المحدثين , الذين كانوا إمتدادا صادقا لشيوخ الصوفية الأولين , ومؤرخى التصوف الأقدمين , وهو موضوع الفقرة القادمة.