Sabtu, 12 Desember 2009

Mauqif Muslimin terhadap Filsafat Yunani ( pro-kontra ) “Studi Muqaranah dalam Kajian Filsafat” Bag 1


Muqaddimah

Berbicara tentang mauqif muslimin terhadap Filsafat Yunani merupakan persoalan yang tidak lepas dari nuansa kontroversi antra pro-dan kontra, tidak jarang mereka yang terlibat didalamnya mengahadapi tuduhan kafir atau mengkafirkan.

                Dari perbedaan tersebut muncullah dua kelompok yang besar  dikalangan cendikiawan dan ulama. Kelompok yang pertama  mereka adalah para Filosof  Islam ( Hukama) dan kelompok yang kedua datang dari kaum Agamawan. Kelompok yang pertama jumhur Filosof mengatakan bahwa tujuan Agama tidak jauh beda dengan tujuan Filsafat karena mereka ingin memberikan keebahagiaan dengan jalan keyakinan yang benar dan juga keduanya memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan yang baik ( al- a’mal al-khair )

                Adapun dari kalangan Agamawan mengatakan bahwa Filsafat adalah perkara yang bidah dan terlarang untuk mempelajarinya. Mereka berargumen dengan hadits-hadits Rasulullah Saw. Untuk memerintahkan merujuk kepadanya didalam segala hal, diantara hadits nabi : “ fa a’laikum bi sunnati wa sunnati al khulafau ar rasyidina mim ba’di tamassaku biha wa a’dhu alaiha bin nawajiz, iyakum wal muhdatsatil umur fainna kulla muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah ”. dan diantara ulama yang berargumen seperti ini

Ibnus shalah, Ibnu jauzi, Ibnu Taimiyyah, As Suyuti, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan masih banyak lagi ulama- ulama yang ikut turut mengharamkan mempelajari Filsafat  dan kebanyakan dari mereka itu datangnya dari kalangan Muhadditsin dan Fuqaha.

Disini kami ingin mencoba membahas kedua pendapat ini dengan membaginya menjadi dua bagian agar lebih sistimatis dan kami juga akan mencoba menjelaskan dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk memperkuat argument mereka masing-masing

 

Pembahasan.

 

Pendapat yang pertama.

Pendapat ini datangnya dari para filosof Islam ( Hukama) pendapat ini mencoba mensingkronisasikan antara Agama dan Filsafat, dalam artian bahwa Agama dan Filsafat selalu berjalan secara bergandengan. Dikalangan ini yang paling tegas adalah Ibnu rusyd yang lebih terkenal sebagai komentator Aristoteles, bahkan dia membuat buku yang dimana khusus membahas apakah mempelajari Filsafat dan logika di perbolehkan atau dilarang oleh syariat, disana Ibnu Rusyd dengan tegas berkata : jika kegiatan Filsafat tidak lain hanya menyelidiki sesuatu yang maujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta maka semakin sempurnah pengetahuan tentang maujud dan semakin sempurnahlah  pulalah pengetahuan tentang sang pencipta. Karena syariat telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang maujud maka jelslah mempelajari Filsafat hukumnya wajib atau sunnah.

Dalil-dalil Ibnu rusyd bahwa tuhan menuntun kita untuk menggunakan logika terdapat dalam surah al-hasyr ayat 2 “ maka berfikirlah wahai orang-orang yang berakal budi “ dan juga dalam surah al a’raaf ayat 185. Allah memerintahkan kita untuk mempelajari setiap yang maujudapakah mereka tidak memperhatikan segala kerajaan di langit dn di bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah ?

                Dari ayat ini Ibnu Rusyd mangasumsikan bahwa syariat telah jelas-jelas mewajibkan penelitian tentang segala yang maujud dan perenungan dangan menggunakan akal. Ia menegaskan bahwa Perenungan adalah pengambilan dan penarikan Sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari sesuatu yang diketahui dan inilah yang diaksud dengan Qias ( analogi ) atau sesuatu yang dilakukan yang menyerupai qias sedimikian rupa. Maka kewajiban melakukan penilitian tentang segala maujud dengan menggunakan qias rasional. Demikian juga metode yang di anjurkan dan di perintahkan oleh syariat adalah metode berfikir dengan menggunakan analogi, dan analogi yang paling sempurnah adalah yang disebut dengan metode berfikir demonstratif ( manhaj burhani).

                Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa kewajiban mempelajari ilmu logika ini sama halnya mempelajari ilmu Fikih, karena ilmu Fikih terbentuk karena hasil penyimpulan dari adanya perintah untukmendalami hukum-hukum. Dari sinilah menurut Ibnu Rusyd tak seorangpun yang berhak untuk menyatakan bahwa mempelajari qias rasional adalah Bida’h ( haram), meski hal itu tidak dilakukan oleh generasi awal, sebab mempelajari kias Fikih beserta berbagai jenisnya juga dirumuskan setelah generasi awal.


Filosof Yunani dalam Pandangan Ibnu Rusyd Dan Al Farrabi.

 

Ibnu Rusyd mengatakan dalam kitab fashl nya “ apabila telah ada orang lain yang telah mengembangkan kajian serupa tentang qias rasional ( qiyas al-aqli) maka kita harus merujuk pada apa yang telah dia garap, tampa memperhatikan apakah orang itu seagama dengan kita atau tidak. Ibnu Rusyd melihat bahwa apa yang dilakukan oleh para pengkaji qias rasional bisa menjadi wasilah bagi kita untuk dijadikan pegangan, ia menganalogikan Filsafat dengan pisau yang dipakai untuk memakai untuk memotong hewan kurban tampa harus mempersoalkan darimana pisau itu berasal ia berkata “ sebab jika ( misalnya) suatu penyembelihan binatang kurban yang sah hukumnya dilakukan dengan alat tertentu maka keabsahan penyembelihan qurban itu tidak dipandang  apakah alat yang digunakan milik orang seagama dengan kita atau tidak, selama memenuhi syarat-syarat sahnya, sah pulalah sembelihan tersebut.

                Jika persoalan qias rasional ( qiyas aqly) telah dikembangkan secara sempurnah oleh orang-orang terdahulu, maka sepatutnya kita mengkaji buku-buku karya mereka untuk mempelajari pendapat mereka tentang persoalan itu, jika pendapat mereka benar maka kita harus menerimanya namun jika salah maka kita harus berhati-hatiterhadapnya.

Selain Ibnu Rusyd Al farrabi mencoba untuk melakukan hal yang serupa. sebagaimana ia telah melakukan hal yang serupa pula dengan melakukan at taufiq ( penyatuan) antara Aristoteles al muallim al awwal dan Plato. Ini tertuang dalam bukunya ( al-majmu baina arra’yu al Hukama).  oleh karenanya iapun mencoba menggabungkan antara pendapat para Filosof yunani dengan Islam itu sendiri, karena dalam pandangan Al Farrabi kebenaran itu adalah satu sekalipun cara untuk men-ta’bir-kan nya manusia berbeda-beda. Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila Al Farrabi mencoba untuk mendemonstrasikan antara hakikat yang dicapai oleh para Filosof dan hakikat yang datang dari wahyu nabawiyyah.

                Diantara usaha yang dicoba oleh Al Farrabi untuk menyatukan antara Filsafat dan wahyu yaitu pemikiran tentang ( al-ilah dan al-khalku) abu nashr Al Farrabi ingin mencoba menggabungkan pemahaman Tuhan menurut tasawwur Aristoteles dan al-ilah yang diyakini oleh ummat Islam. Sebelum kita menerawang lebih jauh perlu diketahui bahwa al-ilah dalam Islam adalah pencipta segala sesuatu yang dimana segala tidak muncul kecuali dengan kuasanya, dan selalu dalam lindungannya, yang mengetahui segala yang terbesar maupun yag terkecildan tidak ada perantara dia dan makhluknya. Inilah than menurut al quran. Sementara Tuhan menurut Aristoteles dalah ( al muharrik al awwal) yang tidak bergerak. Inilah perbedaan yang dicoba oleh Al farRabi untuk menggabungkannya, sekalipun ini sangat sulit bagi Al Farrabi akan tetapi ia berusaha mencari titik persamaannya, yang ingin di tekankan oleh Al Farrabi disini dalah para Filosof pada masa pencariannya berakhir bahwa tuhan itu adalah satu. Pendapat inilah yang dimaksud oleh Al Farrabi yang menurutnya adanya kesepakatan antara al ilah menurut prespektif Filsafat dan al-Ilah yang di jelaskan oleh Al-Quran.